Sobat Hindu yang budiman, seperti yang saudara ketahui tentang banyaknya versi kebenaran yang ada membuat bingung para pembaca, bahkan terkadang perbedaan membuat suatu permasalahan yang semestinya tidak terjadi. ajaran agama Hindu yang tertuang dalam bhagawad Gita dipercaya mampu menetralisir perbedaan-perbedaan yang ada. sehingga kami berharap permasalahn dimasyarakat bisa berkurang dengan adanya penyebaran ajaran melalui situs ini. Intisari Bhagawad Gita bisa saudara lihat dan Download disini. semoga dapat bermanfaat bagi saudara...!
Wednesday, 13 February 2013
Sunday, 3 February 2013
Ritual Unik Masyarakat Depeha
Upacara Nampah Batu di Desa Depeha Kecamatan Kubutambahan.
A.
Monografi Desa Depaha
Penamaan
Desa Depeha diambil dari kata dipa
yang artinya sinar. Diceritakan masyarakat desa kalih likur pindah ke suatu
tempat dengan mengikuti sebuah sinar yang berasal dari Pura Dalem purwa. Selain
itu, kata dipa, juga diambil untuk mengenang salah satu raja
Bali yang bernama Suradipa. Kala itu raja Suradipa bertapa di puncak Bukit
Sinunggal sampai ajak menjemput. Untuk mengenang beliau, desa/kerajaan
Indrapura diberi nama Desa/Kerajaan Dipa menjadi Depaa dan sekarang menjadi Depeha.
Kesenian
yang ada di Desa Depeha yang dituturkan oleh para informan bahwa Desa Depaha
memiliki kesenian-kesenian sacral dan gamelan yang dipakai untuk mengiringi
upacara/ritual keagamaan, seperti misalnya tari Gambuh, Tari Sanghyang, Tari
Baris Gede, tari Baris Tamiyang, Baris Jojor, Baris Dadap, Baris Omang, Tari Leko,
dan tari Gandrung. Desa Depeha merupakan desa yang terdiri dari perkumpulan
kerama Bali yang dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya berdasarkan agama
Hindu. Pelaksanaan agama Hindu dilakukan berdasarkan tata aturan adat, sima
dresta, desa kala patra, desa mawecara. Semuanya itu dilandasi oleh tiga
kerangkan agama hindu, yaitu: filsafat, etika, dan upacara yang implementasinya
terlihat dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, yaitu; Parhyangan, Pawongan, dan
Palemahan.
Kegiatan
pakraman di Desa Depeha dipimpin oleh Kelian Desa Adat dan dibantu oleh prajuru
Desa yang lain, seperti petajuh (wakil), penyarikan (juru tulis), petengen
(bendahara), dan kelian tempek yang dibantu oleh kasinoman (juru arah),
sedangkan dalam pelaksanaan upacara ritual dipimpin oleh penghulu adat. Secara
terstruktur para penghulu desa adat disebut Dulu Desa (Hulu Desa). Yang
berjumlah 22 orang yang disebut Desa Kalih Likur, Desa Kalih Likur itulah
sebagai pemimpin kegiatan upacara yadnya di Desa Depeha.
Dalam
pelaksanaan upacara yadnya, umat Hindu di Desa Depeha percaya terhadap satu
Tuhan dalam tiga perwujudanNya, yaitu; Brahma (Pura Desa), Visnu (Pura Puseh),
Siva (Pura Dalem). Disamping itu, masyarakat juga mempercayai adanya
kekuatan-kekuatan gaib yang ikut menjaga kelestarian desa mereka. Mereka
percaya dengan adanya leluhur, babi duwe, dewi Danu, sehingga dari
kepercayaannya itu dibuatkanlah tempat untuk persembahan, selain Pura-pua yang
ada di Desa Depeha seperti Pura Desa,
Pura Puseh, Pura Dalem, terdapat juga pura-pura lain seperti Pura Kawitan, Pura
Tirta Maji, Pura Banua (Sang Kumpi), Pura Sang jero, Pura Bukit Tunggal, Pura
Mas. Selain itu, terdapat juga pura-pura yang dipakai memuja dewa-dewi, seperti
Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kemakmuran. Pura-pura tersebut adalah Pura
Subak Abian, Pura Tumpuk sari, Pura Tumpuk Kelod, Pura Sanglung, Pura Beji,
Pura Batungadeg, Pura Madya, dan Pura Tamansari.
B.
Sejarah Upacara Nampah Batu
Belum
ditemukan catatan atau sumber tertulis yang memberikan petunjuk kapan
masyarakat Desa Depaha pertama kali menyelenggarakan upacara Nampah Batu.
Tradisi Upcara Nampah Batu telah dilaksanakan secraa turun temurun oleh
masyarakat Desa Depaha yang dirangkaikan dengan upacara pujawali di Pura Puseh. Pujawali
di Pura Puseh Desa Depaha jatuh pada setiap Purnama sasih Karo. Walaupun
upacara di Pura Puseh telah ditetapkan setiap Sasih Karo dalam kenyataan
pelaksanaan upacara Nampah batu tidak mesti dilaksnakan setiap tahun.
Pelaksanaan upacara Nampah Batu ditentukan oleh keputusan penghulu Desa
berdasarkan perhitungan penanggalan Bali sehingga upacara nampah Batu bisa
berlangsung setahu, dua tahun bahkan bisa lima tahun sekali. Pada hari purwani, sehari sebelum upacara pujawali
di pura Puseh, oleh masyarakat Desa depaha disebut Nyumun sari, dilaksanakan upacara Nampah Batu atau Nampah Duwe. Upacara tersebut dirangkaikan
dengan acara menek medesa, artinya
warga masyarakat Desa Depaha yang gtelah melangsungkan upacara perkawinan yang
dalam Agama Hindu disebut telah melaksanakan kehidupan Grhastha asmara wajib ikut melaksanakan upacara Nampah Batu Duwe.
Walaupun belum ditemukan bukti tertulis tentang kapan pelaksanaan ritual Nampah
Batu mulai dilakuan oleh warga Desa Depaha, tetapi tradisi lisan (oral history) yang ada dalam masyarakat
memberikan petujuk untuk mengetahui keberadaan upacara Nampah Batu sebagai
salah satu tradisi unik yang masih dipertahankan sampai saat ini.
Pelaksanaan
upacara Nampah Batu memiliki latar belakang etnografi yang berkaitan dengan
cerita yang bersifat supernatural yang menceritakan hubungan antara Dewi danu
yang bersthana di Pura ulun Danu Batur di Kintamani dengan Ayu Manik Galih yang
dipuja oleh masyarakat Desa Depeha sebagai Dewi Kesuburan. Menurut cerita yang
berkembang di masyarakat, karena saying Dewi Danu terhadap masyarakat Depeha muncul
ide Dewi danu memberikan sumber mata air kepada masyarakat Desa Depeha agar di
Desa Depeha memiliki sawah untuk menunjang kehidupan masyarakat. Untuk
mewujudkan keinginan Dewi Danu diutuslah seorang prajurit pergi ke Desa Depeha
membawa sibuh yang berisi air yang
selanjutkan akan dituangkan disalah satu tempat di Desa Depeha sebagai sumber
air. Utusan Dewi dani mempunyai kemampuan yang tinggi, sehingga muncul ide
merubah dirinya menjadi babi, hal ini dilakukan agar perjalanan yang cukup jauh
dari Desa Batur ke Desa Depeha bisa dilakukan dengan cepat mengingat kondisi
wilayah sepanjang perjalanan merupakan kawasan hutan lebat dengan semak belukar
yang menyulitklan perlajanan manusia. Setelah utusan sampai di Desa Depeha,
babi itu langsung menghadap kepada Ratu Ayu Manik Galih dan menyerahkan Sibuh berisi air itu kepadaNya. Setelah
sibuh diterima dan diamati ternyata didalam sibuh berisi air itu terdapat
lintah, Ratu Ayu Manik Galih sangat terkejut, dan disuruhlah babi itu membuang
jauh-jauh sibuh berisi air itu di wilayah pantai. Dengan rasa kecewa dan sedih,
babi itu menuruti perintah Ratu Ayu Manik Galih dan pergi dari Desa Depeha
menuju arah utara dan sampai disuatu tempat dekat pantai (Desa Sanih). Di
daerah dekat pantai itulah sibuh itu dibuang, dan secara tiba-tiba ditempat
sibuh dibuang muncul sumber air yang sangat jernih (yeh mumbul). Sumber air
yang masih dapat disaksikan sampai sekarang dengan nama Air Sanih.
Maksud
baik dari utusan Dewi Danu ternyata mendapat perlakuan yang tidak baik dan
merasa sangat kecewa Karena telah diperlakukan tidak adil. Karena kesal babi
utusan itu mengeluarkan kutukan agar sutu saat nanti apabila dilaksanakan
upacara yang dihaturkan kepada Ratu Ayu Manik Galih supaya babi yang
dipergunakan untuk sarana upacara terbut berubah menjadi batu. Selain itu,
ditegaskan pula apabila masyarakat Desa Depaha melaksanakan suatu upacara dan
melaksanakan upacara melasti agar nunas tirta ke air Sanih (Yeh Mumbul).
Diceritakan
pada suatu hari masyarakat desa Depeha sedang mempersiapkan upacara di Pura
Puseh. Rangkaian upacara tersebut diawali dengan upacara menghaturkan puja wali
ke hadapan Ratu Ayu Manik Galih. Ratu Ayu Manik GAlih merupakan sakti Dewa
Visnu dalam manifestasi beliau sebagai Dewi kesuburan. Puajawali yang
dihaturkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih dilaksanakan pada hari purwani
purnama karo, sehari menjelang hari purnama sasih karo yang dikenal oleh
masyarakat setempat dengan istilah Nyumunsari.
Sebelum upacara masyarakat mempersiapkan segala persiapan dan perlengkapan
upacara, salah satunya adalah babi yang akan digunakan untuk perlengkapan
upcara. Namun sebelum disembelih, babi tersebut terlepas dan lari menuju lembah
dekat Pura Puseh yang dikenal dengan nama yeh kedis (Yeh Kedas). Beberapa orang
mengejar babi tersebut, sampai di lembah yeh kedis salah seorang berteriak “nah ne ye celenge….” (nah ini dia
babinya), sambil menunjuk salah satu batu hitam besar yang menyerupai babi yang
ada di tempat tersebut. Setelah diamati dengan seksama ternyata yang ditunjuk
itu adalah batu hitam besar. Akhirnya orang-orang yang mnengejar babi itu
memutuskan untuk membagi diri menjadi dua kelompok, untuk mencari kea rah barat
dan ke arah timur. Pencarian babi tersebut memberikan nama-nama pada daerah
yang dilalui, yaitu: Munduk Ngandang, Ancut, Campuhan, Yeh Alang, Ceregah, Batu
Lumbang, Celuk, Bukit Tumpeng, Grombong, Gerembiang, Sanglung, Tumpuk, Taman
Sari, Seganti, Peninjauan, Purna, Grembeng, Meringan, Bingin, Yeh Lesung, Tampul,
Munduk Tegeh, Prahyangan (Payangan), Batungadeg, Madya, Sianga, Pegubugan, Yeh
Pande, dan Soca. Karena terus mencari tetapi tidak menemukan babi yang lepas,
akhirnya orang-orang kembali serta mendengarkan sebuah Pawisik (bisikan alam gaib) bahwa babi yang dicari berada dilembah
Yeh Kedis berupa batu, masyarakat yang mempersiapkan upacara tersebut sepakat
mengganti babi tersebut dengan sebuah batu (Batu Duwe) yang terdapat di lembah
Yeh Kedis mengganti babi yang hilang. Selanjutnya batu tersebut digotong
beramai-ramai seperti menggotong seekor babi dibawa ke areal jaba tengah Pura
Puseh untuk dipotong secara bersama-sama sebagai perlengkapan upacara mengganti
babi yang terlepas tersebut sebagai persembahan kepada Ratu Ayu Manik Galih. Dari
hal itulah muncul istilah Nampah Batu karena
realitasnya yang dipotong oleh masyarakat adalah sebuah batu sebagai symbol
dari Bawi Duwe yang keberadaannya
diyakini berada di lembah Yeh Kedis. Sebagai ganti daging babi digunakanlah
jenis kacang-kacangan dan sayur mayor yang merupakan hasil bumi masyarakat Desa
Depeha yang dikenal dengan lelampadan.
Lelampadan inilah yang diolah tanpa
menggunakan minyak untuk selanjutnya dipersembahkan kehadapan Ratu Ayu Manik
Galih dalam manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan.
C.
Bentuk Upacara Nampah Batu
Salah satu bentuk upakara yang menonjol dan bahkan selalu dipergunakan
dalam kegiatan keagamaan di Bali khususnya agama Hindu adalah banten. Penggunaan sarana banten ini tidak terlepas dari
terbatasnya kemampuan manusia, sehingga dalam upaya untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan, sarana inilah yang dipergunakan sebagai alat untuk konsentrasi
sehingga tujuan bisa tercapai.
Banten merupakan sarana persembahan yang sekaligus
sebagai perwujudan simbol-simbol Ida Sang
Hyang Widhi Wasa beserta dengan manifestasi-Nya. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dari sarana tertentu
antara lain: bunga, buah-buahan, daun, makanan, jajan, dan lainnya, disamping
sarana yang sangat penting lainnya seperti air dan api (Titib,2003:134). Dengan
demikian banten adalah simbol yang
sangat universal sifatnya yaitu sebagai simbol dari pikiran manusia untuk
disampaikan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, sebagai simbol dari alam
semesta beserta isinya, dan simbol penyucian atau kesucian hati.
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam banten
secara jelas tertuang dalam kitab Bhagawadgita,
adyaya IX, sloka 26 yaitu:
patram puspam phalam toyam
ya me bhaktya prayacchati,
tad aham bhaktyu pahrtam
asnami prayatatmanah.
Terjemahannya:
siapapun yang sujud
kepada-Ku dengan mempersembahkan
setangkai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan,
atau seteguk air, Aku
terima sebagai bhakti
persembahan dari orang
yang berbakti suci. (Pudja,1999:239)
Dari uraian sloka
Bhagawadgita diatas sangat jelas disebutkan bahwa bahan-bahan yang menjadi
pokok persembahan atau banten adalah
daun, bunga, buah, dan air yang mana di Bali bahan tersebut akan ditata dan
dirangkai sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan yang indah.
Bentuk upakara
yang biasa dipergunakan di Desa Pakraman Depeha dari tahun ke tahun
terus mengalami perubahan. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan pemikiran
serta kesadaran masyarakat yang tidak hanya menerima begitu saja apa yang telah
diwariskan (Kuna Drsta), tetapi
berupaya mencari perbandingan dengan konteks susastra agama yang berlaku (Sastra Drsta).
Pelaksanaan upacara agama selalu menggunakan sarana atau peralatan yang disebut
dengan upakara. Upakara merupakan alat untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan
manifestasi-Nya. Ada beberapa sarana dan bahan yang dipergunakan untuk
melengkapai jalannya pelaksanaan upacara yaitu:
1.
Sebuah batu (duwe) yaitu sebuah batu yang dijadikan
simbol seekor babi.
2.
Tempayan,
pisau, kain putih yang digunakan untuk prosesi memotong Duwe.
3.
Desa Anyar (pasangan baru menikah) yang bertugas melaksanakan prosesi nampah (memotong babi).
4.
Tetabuhan untuk mengiringi Desa Anyar
menari.
5.
Penari yang
terdiri dari seluruh Desa Anyar
Perempuan menarikan tarian rejang dewa,
dan Desa Anyar Laki-laki menarikan
tarian baris.
Seluruh sarana upacara tersebut sangatlah penting karena
tanpa sarana-sarana tersebut maka pelaksanaan upacara Nampah Batu tidak bisa dilaksanakan.
Ada beberapa bentuk persembahan yang digunakan
pada upacara Upacara Nampah Batu di Pura Puseh, Desa Pakraman Depeha
diantaranya berdasarkan hasil pengamatan serta hasil wawancara dengan beberapa
tukang banten atau Sarati di Desa Pakraman Depeha yaitu sorohan banten pangresikan,
banten pejati, jerimpen,daksina
lingga, canang pemendak dan segehan aseet dan sorohan banten
ayaban.
D.
Fungsi Upacara Nampah Batu
Sesungguhnya semua aktivitas keagamaan yang
dilaksanakan oleh umat Hindu yang merupakan prakteknya ajaran agama Hindu
sesederhana dan semegah apapun bentuknya dibalik totalitas nilai-nilai religius intinya mengandung nilai-nilai seni
(estetika), sebagai bentuk ekspresi dari umat dalam melaksanakan ritual dalam upacara. Terlihat jelas nilai seni itu
terungkap dalam upacara Nampah Batu yang dilaksanakan di Pura puseh, Desa Pakraman
Depeha seperti banten yang digunakan
dalam upacaranya merupakan hasil
cipta, rasa, serta karsa suci mereka yang memiliki nilai tak terhingga. Yang
dalam pengerjaannya tetap mengikuti pola aturan tertentu mulai dari jejahitannya, buah, jajan, nasi, rerasmen, sampian atau reringgitannya
sehingga tidak terlepas dari nilai etika dan moral.
Selain itu nilai seni tercermin pula pada
seni tetabuhan, seni kidung, seni tari dan yang lainnya
termasuk cara berpakaian umat pun adalah ungkapan sebuah rasa seni. Dapat pula
dilihat saat proses ngayah menari
untuk Desa Anyar baik laki-laki
maupun perempuan secara bersama-sama mereka menari. Masyarakat selalu berupaya
untuk memberikan suatu persembahan yang terbaik.
Menurut jero mangku pengemong pura dijelaskan bahwa upakara atau banten juga
berfungsi sebagai sarana penyucian atau pembersihan. Dalam Upacara Nyumun Sari dalam
piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Depeha mempergunakan beberapa
jenis banten yang termasuk dalam
katagori sebagai sarana penyucian seperti: 1)
Banten yang ditujukan pada
para bhuta serta hal-hal yang bersifat duniawi lainnya yaitu banten biyakala, banten durmanggala, penyucian
dalam hal ini adalah merubah hal-hal yang bersifat kurang baik agar menjadi
penolong serta berguna bagi yang melaksanakan yadnya. 2) Banten penyucian yang ditujukan
kepada para Dewa-Dewi serta hal-hal
yang bersifat bhatiniah seperti banten
prayascita, Banten Penyeneng, banten panglukatan/penyucian dalam hal ini
bertujuan agar dalam melaksanakan upacara
dapat memancarkan sinar suci, sinar kebijaksanaan yang berguna bagi yang
melaksanakan upacara serta dapat
diterima oleh Tuhan. 3) Ayam putih yang
dipersembahkan saat mapiuning di Pura
Desa
oleh Desa Anyar merupakan
simbolis kesucian pikiran dan hati sebagai awal
akan memulai bahtera rumah tangga. Sehingga apa yang akan menjadi tujuan
kedua pasangan tercapai.
E.
Makna Upacara Nampah Batu
1.
Makna Simbolik
Secara implisit, banten yang digunakan dalam Upacara
Nampah Batu sangat sarat mengandung nilai-nilai simbolik hal
itu sangat relepan dengan teori simbolik Kant yang menyatakan bahwa dimensi
simbol merupakan penggambaran tidak langsung analog. Bentuk banten Upacara Nampah Batu yang
digunakan sebagai sarana pelengkap upacara
piodalan di Pura Puseh, Desa Pakraman
Depeha merupakan penggambaran secara tidak langsung dari yang abstrak menurut
konsep sastra yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan upacara tersebut. Kemampuan manusia sangat terbatas untuk memahami
hal-hal yang bersifat abstrak sehingga perlu diwujudkan dalam bentuk
simbol-simbol untuk dapat menjangkau yang bersifat abstrak itu. Eksistensi banten pada Upacara Nampah Batu dalam piodalan di Pura Puseh sesungguhnya
merupakan instrumen untuk menghubungkan dunia material dengan dunia spiritual.
2.
Makna Solidaritas
Dalam kehidupan
bermasyarakat dan beragama, interaksi dengan orang lain sangatlah penting,
karena sebagai mahluk sosial manusia tidak bisa hidup menyendiri. Interaksi
sosial inilah yang mendasari tumbuhnya rasa solidaritas dalam masyarakat. Salah
satu wujud solidaritas dalam masyarakat khususnya di Desa Pakraman Depeha adalah gotong-royong. Inilah wujud solidaritas
yang memiliki nilai budaya warisan leluhur. Gotong-royong ini merupakan bentuk
kerjasama yang dilandasi oleh rasa saling cinta kasih, tenggang rasa, saling
asah-asih-asuh, saling menghargai, rasa saling memiliki, dan sebagainya yang ditopang
oleh semangat kebersamaan serta merupakan perwujudan dari konsep ajaran Agama
yaitu Tat Wam Asi (itu, Ia adalah kamu), yang merupakan adat istiadat
yang kuat dalam hal hubungan antara warga yang satu dengan warga yang lain
didasarkan atas moral yang telah melembaga dalam diri individu.
3.
Makna Etika dan Budaya
Persembahan yang
dilakukan oleh umat Hindu khususnya yang dituangkan melalui ajaran Panca Yadnya memiliki nilai-nilai moral
dan spiritual yang sangat tinggi. Moral merupakan seperangkat aturan tingkah
laku yang mengacu pada kaedah-kaedah yang sesuai dengan ajaran agama. Dengan
ajaran moral, maka manusia dihapkan mampu untuk melaksanakan perbuatan yang
baik dan benar yang sesuai dengan ajaran agama.