PADMASANA AGUNG PURA JAGATNATHA SINGARAJA
Oleh:
Gede
Nova Heri Pratama
1.
Latar
Belakang Pembangunan Pelinggih Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja
Pembangunan Pelinggih Padmasana
Agung Pura Jagatnatha Singaraja tidak akan bisa terlepas dari sejarah atau
latar belakang dibangunnya Pura Jagatnatha Singaraja, sebab bangunan Padmasana
merupakan inti dari keberadaan sebuah pura yang dibangun. Akan terdapat banyak
persamaan latar belakang pembangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha dan
pembangunan Pura Agung Jagatnatha Singaraja. Padmasana Agung Pura Jagatnatha
merupakan pelinggih yang berada di areal Pura Jagatnatha, yaitu Uttamaning Uttama Mandala (Purana Lan
Awig-Awig Pura Agung Jagatnatha, 1996). Menurut penuturan narasumber Jero
Mangku Gde I Wayan Suyasa yang berdasarkan atas Purana Pura Agung Jagatnatha Singaraja bahwa pembangunan pura
Jagarnatha ini berawal dari Pesamuan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
pusat bersama dengan para sulinggih se-Bali yang bertempat di Denpasar pada
tahun 1970, yang memutuskan bahwa di setiap Kabupaten agar didirikan Pura
Jagatnatha sebagai parhyangan jagat Kabupaten sesuai dengan konsep Tri Hita
Karana. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan umat Hindu
serta meningkatkan Sradha dan bhakti umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Selain itu disebutkan juga dalam lontar Sundari
Gama yang berisi pewarah-warah Hyang
Widhi kepada Purohita atau Bhagawanta (orang suci) agar
menyampaikan pesan Hyang Widhi kepada pemegang kekuasaan tertinggi agar
melaksanakan widhi widhana pada
hari-hari suci, maupun pada hari raya bersama-sama dengan bawahannya dan uamat
sedharma demi terwujudnya kesejahteraan jagat raya dengan segala isinya.
Hasil keputusan PHDI pusat
ditindaklanjuti oleh Gubernur propinsi Bali Ida Bagus Mantra berupa surat
edaran kepada para Bupati se-Bali agar mewujudkan hasil pesamuan tersebut
dengan membangun pura Jagarnatha di Ibukota masing-masing Kabupaten. Ketut
Ginantra yang menjabat sebagai Bupati Buleleng menindaklanjuti surat edaran
Gubernur Bali, yang selanjutnya mengundang manggala PHDI Kabupaten Buleleng,
Kepala Kantor Agama Kabupaten Buleleng, Kasi Bimas Hindu Budha, Instansi
Pemerintah terkait, para Camat se-Kabupaten Buleleng, dan Desa Adat Buleleng
dalam pesamuan yang dilaksanakan oleh Bupati tanggal 4 Mei 1989 di Wantilan
Praja Winangun Kantor Bupati Buleleng. Dalam pesamuan tersebut memutuskan untuk
membangun pura Jagatnatha dan selanjutnya dibentuklah panitia pembangunan dengan
ketua umumnya Sekwilda. Kabupaten
Buleleng Ida Bagus Indugosa.
Pada awalnya, pembangunan pura
Jagatnatha direncanakan di SKKA (sekarang lokasi Gedung Laksi Graha) dengan
pertimbangan dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Buleleng, namun lokasi tersebut
kurang tepat sebagai tempat suci karena bersebelahan dengan makam Pahlawan
Surastana. Kemudian dicari tempat lain yakni Lapangan Kolonel Wisnu di lokasi
Pura Jagatnatha sekarang berada. Dasar pertimbangan dipilihnya lokasi tersebut
adalah lokasi tersebut sesuai dengan dengan Aji
Kalpa Sastra dan Aji Silpa Sastra (Purana
Lan Awig-Awig Pura Jagatnatha Singaraja),
yaitu: lokasinya lapang dan luas, dekat dengan perempatan sebagai simbol
Catuspata, dekat dengan Toya mumbul (mata
air), dan menurut orang suci tanah tersebut memiliki bau atau aroma yang wangi.
Padmasana Agung Pura Jagatnatha
Singaraja merupakan sthana Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa
Jagatnatha. Diambil dari kitab Astadasaparva
dalam Itihasa Mahabharata, bangunan Padmasana merupakan inti dari sebuah
pura, dimana dalam pura yang dibangun wajib memiliki bangunan yang disebut
dengan Padmasana, begitu juga didalam Pura Jagatnatha Singaraja, bangunan yang
berdiri megah disebelah timur Utama mandala, disebut Padmasana Agung merupakan
bangunan yang menjadi inti dari Pura Jagatnatha Singaraja.
2.
Struktur
Bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja
Berdasarkan identifikasi oleh Jero
Mangku Alitan Wayan Sugiartha pada bagian dasar atau tepas Padmasana Agung pura
Jagatnatha, terdapat ukiran atau bentuk kura-kura/empas yang disebut dengan bedawangnala yang dibelit oleh seekor
naga, yaitu: Naga Basuki. Naga tersebut
membelit antara empas dan dasar bangunan. Kemudian pada bagian dasar/tepas ini
terdapat ukiran berbentuk bunga teratai dan karang gajah (asti). Diatas Naga Basuki terdapat ukiran naga
berwarna hitam yang disebut Naga
Anantabhoga. Dan bagian puncak seharusnya terdapat ukiran Naga Taksaka, namun yang terdapat dalam
Padmasana Agung Pura Jagatnatha tidak memakai Naga Taksaka melainkan hanya memakai bentuk kursi atau singhasana,
yang pada bagian dinding belakang singhasana terdapat ukiran Acintya yang merupakan
lambang Ida Sang Hyang Widhi.
Pada bagian badan atau tengah
bangunan padmasana terdapat berupa ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti/gajah, dan burung garuda. Pada bagian atas atau sari terdapat singhasana seperti kursi yang
terbuat dari paras yang di ukir sesuai dengan bentuknya. Pada bagian belakang
terdapat ulon yang bagian tengahnya
terdapat ukiran lukisan Sang Hyang
Açintya atau Sang Hyang Taya sebagai
simbol Sang Hyang Widhi. Lukisan tersebut menggambarkan tarian dewa Çiwa, yaitu
Çivanataraja dalam menciptakan alam semesta.
3.
Makna
Masing-Masing Simbol dari Bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha
Singaraja
Singaraja
Seperti apa yang sudah dijelaskan
diatas, bangunan padmasana terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian dasar, tengah
dan bagian puncak. Berikut akan diuraikan makna simbolis yang terkandung dari
masing-masing simbol pada bagian-bagian padmasana tersebut.
a.
Bedawangnala
Didalam karya arsitektur bahwa
bedawang dilukiskan sebagai penyu atau kura-kura/empas raksasa yang menyemburkan
api di bagian kepalanya. Kata Nala berasal dari bahasa sansekerta anala yang berarti api. Didalam lontar Adiparva, Brahmanda purana, dan Agastya Parva bedawangnala dilukiskan
sebagai bedawang api yang berkepala kuda.
“Indik
wawangunan ring uttama mandala inggih punika: 1. Wangunan Padmasana Agung sane
tegeh nyane plekutus meter (astadasaparva) linggih sang Hyang Siwa, Sada Siwa,
Parama Siwa, maka prabhawan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Ngamel kerahajengan Jagat
(Jagatnatha). Wangunan padmasana puniki kasengker antuk tembok panyengker
kajangkepin antuk pamedal nyatur maka prabhawan ida Sang Hyang widhi makadi
pangider Bhuwana (astadikpalaka, utawi asta dewata). Punika sami kasinahang ring bucun dasar babaturan padmasana miwah pamedak nyatur desa sane makweh ipun
akutus. Pamedal punika kajangkepin antuk kreteg anggen ngaranjing ke uttamaning
uttama mandala, saantukan babaturan punika kaiterin antuk talaga (nganutin
tattwa girimandara prawartana)”.
Bedawangnala dalam bahasa jawa kuna, berasal dari
kata “Bheda” yang artinya lain,
kelompok, selisih. Wang artinya
peluang atau kesempatan, dan nala artinya
api. Jadi bhedawangnala adalah suatu kelompok yang meluangkan adanya api. Api
yang dimaksud disini bisa berarti yang sebenarnya, yaitu sebagai magma inti
bumi, dapat juga diartikan sebagai makna simbolis yaitu energi kekuatan hidup.
Karena letaknya dibawah bangunan, maka bhedawangnala dapat bermakna sebagai
kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu utnuk dijaga, dan dapat pula
bermakna sebagai dasar kehidupan manusia, yaitu energi yang senantiasa perlu
ditumbuh kembangkan.
b.
Naga
Pada Padmasana Agung Pura
Jagatnatha Singaraja, naga terlihat membelit kura-kura (bedawangnala). Berdasarkan
narasumber Jero mangku alitan Wayan Sugiartha, naga tersebut adalah naga Basuki.
Yang merupakan symbol tanah yang melapisi panas bumi.
Didalam mitologi Çivagama demikian
pula dalam Çri Purana Tattwa disebutkan bahwa setelah bumi diciptakan oleh
Bhatari Uma dan Dewa Siva, lengkap dengan isinya, maka suatu ketika terjadilah
bencana, tumbuhan tidak menjadi, air tidak berkhasiat, serta udara menimbulkan penyakit,
maka berbelaskasihanlah Sang Hyang Trumurti sehingga beliau turun ke dunia
untuk membantu manusia dari penderitaan tersebut. Setelah didunia, masuklah
Dewa Brahma ke dalam tanah mengambil wujud Sang Hyang Anantabhoga, Dewa Visnu
terjun ke air dan jadilah beliau sebagai Sang Hyang Naga Basuki, dan Dewa
Iswara (Çiwa) melayang diudara menjadi Naga Taksaka.
Mengambil makna kias dari uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa bedawangnala atau magma itu dibungkus oleh
tanah/kulit bumi (naga Anantabhoga, oleh naga Basuki (samudra dan
sungai-sungainya), dan dilindungi oleh naga Taksaka (lapisan Udara/atmosfer).
Jadi, magma, tanah, air, dan udara itu dilukiskan dengan bedawangnala dan naga
yang menjadi satu kesatuan. Di atas bumi dan atmosfer inilah baru adanya
kehidupan dan para dewa bertahta, ada yang kiblat timur, utara, selatan dan
barat, inilah yang dilukiskan dengan Caturlokapala, lukisan segi empat atau
singhasana pada bagian atas Padmasana, dan di puncaknya adalah Ida Sang Hyang
widhi Wasa.
c.
Burung Garuda
Garuda dalam posisi terbang di
belakang Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja merupakan simbol manusia
yang menginginkan kebebasan melalui pelespasan ikatan duniawi. Garuda adalah simbol
dari pembebasan terhadap perbudakan benda-benda duniawi. Didalam lontar Adi Parva yang menceritakan tentang
usaha sang garuda untuk membantu ibunya Sang Winata yang menjadi budak sang
Kadru untuk menjaga dan mengantarkan anak-anaknya sebanyak seribu ular, karena
sang Winata kalah taruhan melawan sang Kadru menebak rupa warna kuda Ucchaisrawa. Untuk membebaskan
perbudakan tersebut, maka garuda diminta untuk mencari tirta amrta di surge
untuk anak-anak ular tersebut. Dewa Visnu memberikan tirta tersebut asalkan
garuda bersedia menjadi kendaraan Dewa Visnu. Garuda menyetujui dan membawa
tirta tersebut kepada anak-anak ular.
d.
Ukiran Açintya
Keterbatasan pikiran manusia dalam
menjangkau Tuhan, menjadikan atau menimbulkan upaya atau usaha manusia untuk
menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada sang pencipta. Berbagai hal
dilakukan untuk membawa pikiran agar terfokus dan mam,pu membayangkan
keberadaan Tuhan. Seperti misalnya menggunakan gambar sebagai media,
menggambarkan wujud Tuhan ibarat seperti wujud manusia yang lengkap dengan
atribut-atributNya.
Keberadaan tuhan yang tidak dapat
dijangkau oleh pikiran manusia itu disebut dengan istilah Nirgunabrahman yang artinya keberadaan Tuhan tanpa wujud tidak
dapat dibayangkan dan dijangkau sama sekali oleh pikiran manusia, dalam keadaan
seperti itu, Tuhan bersifat hampa atau kosong sedangkan yang memenuhi segalanya
adalah esensi ketuhanan. Untuk membawa Tuhan masuk ke dalam pikiran manusia (Sagunabrhaman)
maka dibuatlah simbol berupa gambar atau bentuk patung. Gambaran Tuhan yang
tidak terjangkau sama sekali oleh pikiran manusia itu disimbolkan dengan Acintya, a berarti tidak, dan cintya
berarti pikiran. Maka Acintya adalah
keberadaan Tuhan yang tidak dapat dipikirkan.
|
e.
Hiasan dan Ornament Lainnya pada
Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja
Pada bangunan Padmasana Agung Pura
Jagatnatha Singaraja, terdapat beberapa hiasan-hiasan yang melengkapi bangunan
suci tersebut. Namun bukan berarti hiasan dan ornament yang terdapat pada
bangunan suci Padmasana itu hanya berfungsi sebagai penambah daya Tarik atau
sebagai daya hias saja, melainkan juga menyimpan makna. Segala bentuk hiasan,
seperti Karang gajah/Asti, Karang goak,
Simbar, dan yang lainnya itu melukiskan keaneka ragamanan kehidupan yang
ada di dunia ini. Ketika dunia ini diciptakan lengkap dengan isinya, maka Tuhan
lebih melengkapinya dengan segala pernak pernik yang ada. Mulai dari kehidupan
tumbuhan, binatang, manusia, segala bhuta dan bhuti, termasuk pula para Dewa
yang merupakan manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.