Saturday 27 December 2014

Evaluasi Pendidikan

2.1  Pengertian Evaluasi
Seperti apa yang telah dipaparkan di depan, bahwa seorang guru perlu mengadakan proses evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam menerima pelajaran yang disampaiakan oleh guru dalam proses belajar mengajar, dan juga sekaligus mengetahui sejauh mana keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Evaluasi diartikan sebagai penilaian, mengevaluasi berarti menilai atau menjalankan proses penilaian terhadap sesuatu, namun dalam hal pendidikan evaluasi dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta didiknya. Evaluasi dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu evaluasi yang berbentuk tes, seperti misalnya pemberian soal ulangan, dan evaluasi yang berbentuk non tes misalnya observasi, angket, dan yang lainnya. Dalam menjalankan proses evaluasi, seorang evaluator harus membakukan alat ukur agar dapat tercapai tujuan evaluasi dengan baik, yaitu membedakan anak yang pandai, kurang pandai, bahkan anak yang tidak pandai, termasuk pula untuk mengetahui tingkat kesiapan seorang siswa dalam mengikuti tahap belajar selanjutnya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam membakukan alat ukur adalah kesesuaian tes dengan tujuan pembelajaran, penyusunan suatu tes harus berdasarkan table kisi – kisi (Bule Print). Tes yang disusun berdasarkan atas program pengajaran,, kemampuan siswa, pembiayaan, dan waktu pelaksanaannya. Cara – cara yang ditempuh dalam membakukan alat ukur yaitu dengan mengukur Derajat Kesukaran, menentukan Daya Beda tes, mencari efektifitas option, mencari Validitas dan Reliabilitas suatu tes yang akan dipakai.

2.2  Mengukur DK (Derajat Kesukaran) tes
Butir soal atau item tes tidak boleh terlalu sulit ataupun terlalu mudah. Tes yang terlalu sulit ataupun terlalu mudah tidak akan mampu membedakan antara siswa yang pintar dan yang tidak pintar. Tes yang baik adalah tes yang memiliki Derajat kesukaran berkisar antara 25%  sampai dengan 75%. Jadi tes yang memiliki derajat kesukaran dibawah dari 25% adalah tes yang terlalu mudah, artinya tes tersebut tidak baik. Begitu pula tes yang memiliki derajat kesukaran diatas 75%, karena tes tersebut terlalu sulit, sehingga tes tersebut tidak baik. Persentase derajat kesukaran suatu tes dapat ditentukan dengan rumus:
 DK =           
Ket.
DK         : Derajat Kesukaran
Wl          : Jml. Kelompok bawah yang menjawab salah
Wh         : Jml. Kelompok atas yang menjawab salah
N            : Jml. Kelompok atas dan bawah (Nh + Nl)
Kelompok atas dan kelompok bawah ditentukan dengan cara menghitung 27% dari jumlah peserta tes seluruhnya (27% x N). dan yang lainnya diabaikan karena berada ditengah–tengah artinya mereka itu tidak pintar namun tidah bodoh pula. Setelah diketahui kelompok atas dan bawah, urutkan siswa berdasarkan skor yang diperoleh dari yang terbesar hingga nilai yang terkecil. Setelah itu baru memasukkan ke dalam rumus.
a.       25%  <  N  <  75%      : item diterima (baik)
b.      N  <  25%                    : item ditolak (tidak baik/ terlalu mudah)
c.       N  >  75%                    : item ditolak (tidak baik/ terlalu sulit)

2.3  Mengukur DB (Daya Beda) tes
Daya Beda suatu tes adalah kemampuan suatu tes untuk membedakan antara siswa yang benar – benar mampu menyerap pelajaran dengan siswa yang belum mampu menerima pelajaran yang disampaikan oleh seorang pendidik. Daya beda suatu tes dikatakan baik apabila berkisar antara 0,40 ke atas dan 0,20 ke atas (DB > 0,40 dan DB > 0,20). Penggunaan kedua ukuran ini memperhitungkan tujuan pengajaran  atau penggunaan tes tersebut dengan demikian, dapat dipilih salah satu diantaranya, missal untuk mencari nilai ulangan akhir semester, ulangan harian, dan sejenisnya.
Daya beda suatu tes diukur dengan cara: DB = 
Ket.
DB         : Derajat Beda tes
Wl          : Jml. Kelompok bawah yang menjawab salah
Wh         : Jml. Kelompok atas yang menjawab salah
N            : Jml. Kelompok atas dan bawah (Nh + Nl)
  
2.4  Mengukur EO (Efektifitas Option)
Efektifitas option adalah kualitas dari option – option yang terdapat dalam suatu tes. Efektifitas option ini dipakai untuk menentukan item – item mana saja yang perlu untuk diperbaiki agar dapat memenuhi criteria atau syarat tes yang baik. Langkah yang ditempuh untuk menentukan efektifitas option adalah:
-          Menyusun table data
-          Menentukan kelompok atas dan bawah
-          Memasukkan data ke dalam table kerja
-          Menarik kesimpulan
Untuk bisa menarik sebuah kesimpulan tentang efektifitas option tersebut, harus didasarkan atas perbandingan data yang diperoleh dalam penelitian.
a.       Option kunci
Option kunci dikatakan efektif jika:
-          Jumlah pemilih kelompok atas dan bawah tidak kurang dari 25% dan tidak lebih dari 75%
-          Frekuensi pilihan kelompok atas harus lebih banyak dari kelompok bawah (PKa>PKb)
b.      Option Pengecoh
Jumlah pemilih kelompok atas dan bawah minimal 25% dari satu per duakali jumlah option pengecoh, dikalikan dengan jumlah kelompok atas dan bawah.
∑PKa + ∑PKb > { 0,25 x     
Ket.
∑PKa       : Jml. Pilihan kelompok atas                2x        : Dua kali jml. Option pengecoh
∑PKb       : Jml. Pilihan kelompok bawah           N1       : Jml. Individu kelompok atas
0,25          : 25%                                                   N2       : Jml. Individu kelompok bawah

2.5  Menganalisis Validitas
Validitas tes adalah kesesuaian suatu tes dengan tujuan diadakannya evaluasi atau pengukuran. Suatu tes dikatakan valid jika tes tersebut benar – benar mampu mengukur apa yang hendak diukur, begitu pula sebaliknya. Validitas tes dapat dibedakan menjadi:
a.       Validitas isi
Validitas isi adalah validitas yang mencangkup seluruh isi mata pelajaran yang hendak diujikan kepada siswa. Salah satu caranya adalah dengan menyusun table kisi - kisi
b.      Validitas susunan
Validitas susunan adalah validitas yang dapat dilihat dari konstruksi tes atau dari susunannya
Jika pembuatan suatu tes dengan memperhatikan syarat penyusunan tes yang baik atau materi uji tidak lepas dari tujuan pengujian, maka tes atau alat ukur tersebut bisa dikatakan sebagai tes yang valid.

2.6  Menganalisis Reliabilitas
Suatu tes dikatakan reliable apabila pengukurannya mantap. Kemantapan pengukuran bisa dilihat dari:
-          Kemampuan menghasilkan indeks stabilitas
-          Kemampuan menghasilkan indeks equivalent atau kesamaan.
-          Kemampuan menghasilkan indeks konsistensi internal
Cara yang digunakan untuk mengukur reliabilitas suatu tes adalah sama, yang digunakan dalam waktu yang berbeda atau alat ukur yang setara, atau antara bagian - -bagian alat ukur yang sama digunakan dalam waktu yang sama

Etika dan Tatasusila dalam Kitab Slokantara

II.1      Susunan dan Isi Kitab Slokantara
            Susunan Kiatb Slokantara identik dengan Kitab Wrespatitattwa. Syair – syairnya berbahasa Sansekerta yang jumlahnya 84 buah yang disertakan salinannya dalam bahasa jawa kuna. Hanya saja isinya yang berbeda yang mana Kitab Wrespatitattwa pokoknya : Siwa Tattwa, sedangkan Slokantara tentang Etika, Sasana, Danapunia dan Niti serta ajaran Karma phala. Mengenai ajarannya tidak tersusun dengan sistematis tapi antara syair yang satu dengan syair yang lainnya sering memaparkan ajaran yang berbeda, hal ini terdapat dalam kakawin Nitisastra. Namun materi yang diajarkan banyak kesamaannya.

II.2      Kecenderungan Sifat Manusia
            Didalam Kitab Slokantara tidak terdapat uraian tentang Tri Guna, Suri Asuri sampad yang merupakan kecenderungan sifat manusia yang didapatkan berupa gambaran / lukisan sifat orang baik dan buruk perilakunya. Dengan gambaran itulah manusia atau orang pedoman untuk bisa membedakan mana perilaku orang baik dan mana perilaku orang yang tidak baik sehingga diharapkan manusia cenderung memilih/melaksanakan perilaku yang baik/susila. Dalam Kitab slokantara dilukiskanlah sifat – sifat itu diantaranya pada syair 31 :
Demikianlah bahwa sang sadhujana, yaitu orang yang lahir dari keluarga baik – baik meskipun ia amat miskin meyedihkan, tetapi ia itu tidak akan mau mengerjakan dan memikirkan yang jahat – jahat. Hal ini dapat dibandingkan seekor harimau, walaupun cakarnya dipotong, tidak mungkin ia akan mau makan rumput, karena ia akan ingat apa yang harus dimakannya atas dasar kodratnya. Demikian ajaran kitab suci.
            Pada dasarnya manusia atau orang yang sungguh – sungguh, baik budinya, sangat sulit untuk diajak berbuat yang buruk karena parilaksana yang begitu dirasakannya merupakan dosa besar yang menimpa diri mereka. Lain halnya dengan orang buruk budinya, mudah terpengaruhi atau terombang – ambing pikirannya, sedikit ada orang yang mempengaruhi sudah diterima karena dasar pikirannya sudah buruk, ibarat harimau yang terbiasa memakan daging, sudah barang tentu sulit untuk memakan makanan yang lain, bahkan tidak bisa.
            Mengenai sembilan kebajikan – kebajikan yang terdapat pada ayat 84 juga juga disajikan sifat – sifat baik budi dari dari orang yang budinya baik. Diantaranya : sifat mulia, sifat ideal yang sedapat mungkin dikejar orang dan dan terdapat dalam kitab Slokantara 84 yang mana berbunyi :
            Inilah perilaku yang dinamai nawa sangan yang dapat menyebabkan hidup kita ini menjadi bahagia yaitu : andrayuga, gunabhiksama, sadhuniragraha, widagdhaprasama, wiratasadharana, krtarajahita, tyaga prasama, suralaksana, surapratyayana, yang berjumlah sembilan.
  1. andrayuga artinya menguasai ajaran – ajaran dharma, segala macama pengetahuan, bijaksana dan tahu akan apa yang baik dan apa yang buruk.
  2. gunabhiksama artinya jujur akan harta kepunyaan atasannya, selalu dapat mengatasi segala kesukaran, tidak melibatkan diri pada pertentangan yang timbul, sering sehaluan dengan kehendak umum dan berbahagia jika melakukan kebajikan.
  3. sadhuniragraha artinya jujur terhadap wanita dan tidak menyakiti sesama manusia.
  4. widagdhaprasama artinya tidak termakan oleh ucapan – ucapan tidak benar yang ditunjukkan kepadanya dan tidak merasa marah atau sedih, selalu bahagia dan tenang pikirannya.
  5. wiratasadharana artinya keberaniannya tidak ada bandingnya, tidak bisa kalah dalam perdebatan an selalu memegang keadilan hukum.
  6. krtarajahita artinya tidak segan – segan mengalah (kalau merasa salah) dan memahami benar kitab Hukum kutaramanawa dan lain – lainnya.
  7. tyaga prasama artinya tidak mengenal lelah jika sedang melakukan tugas yang dibebnkan oleh atasannya.
  8. suralaksana artinya tidak mengenal rasa takut, selalu cepat dan tidan lamban dalam bertindak.
  9. surapratyayana artinya hormat dan stia pada atasan, tidak pernah mundur dari medan perang, tidak lari dari kesukaran, tetap waspada dalam menjawab atasan.
perbuatan nawa sanga merupakan sesuatu yang sangat baik bila dapat  dilaksanakan.
            Gambaran atau lukisan sifat – sifat baik yang terdapat dalam Kitab Slokantara ada sangkut pautnya dengan ajaran sasana dan niti, sehingga sifat baik atau buruk diteropong dari sasana dan niti. Bila apa yang dipaparkan dalam ajaran sasana dan niti dilaksanakan maka orang itu menjadi baik, bila bertentangan maka orang tersebut akan berifat buruk. Lukisan itu terdapat juga dalam Nitisara. Karena hidup ini tidak dapat lepas dari sasana dan niti yang menyangkut peraturan hidup dan pemerintahan serta hukum yang berlaku. Dalam Kitab Slokantara juga menyajikan gambaran tentang sifat – sifat orang buruk yang tidak pantas ditiru pada 34 yang berbunyi :
            Ada orang yang air mukanya manis, menarik dan seperti tenangnya bunga terati yang sedang mekar, kata – katanya sejuk seperti meresapnya sejuk air cendana yang dilepaskan pada badan. Ia manis dan penyayang tampaknya terhadap orang sengsara dan kemalangan. Walaupun tampaknya ia dapat dianggap sebagai pahlawan, namun sebenarnya, hatinya setajam gunting. Dalam mendekati ia itu sangat menakutkan. Dengan gigi dikeratkan ia patahlah leher orang – orang yang baik budi yang patut disayangi itu. Ia menyebabkan penderitaan yang maha hebat, yaitu sama dengan madu dicampur racun. Sebenarnya kemanisannya itulah kejahatan yang tidak kenal ampun. Sebenarny ia racun terjahat dalam bentuk manusia, penjelmaan dasar neraka. Kesimpulannya, orang yang lahirnya mulia janganlah berbuat semacam itu. Inilah nasehat suci.
            Gambaran yang lebih panjang tentang sifat – sifat orang berbuat buruk ada pada ayat 84 yang bunyinya :
            Inilah sifat – sifat dasar mala yang tidak layak dilakukan yaitu : tandri, kleda, leja, kuhaka, metreya, megata, ragastri, kutila, bhaksa bhuwana, kimburu.
-          tandri yaitu orang yang malas, lemah, suka makan dan tidur saja, enggan bekerja, tidak tulus dan hanya ingin melakukan kejahatan
-          kleda yaitu suka menunda – nunda, pikiran buntu, dan tidak mengerti apa sebenarnya maksud – maksud orang lain
-          leja artinya pikiran selalu diliputi kegelapan, bernafsu besar. Ingin segala dan gembira jika melakukan kejahatan.
-          Kuhaka artinya orang pemarah, selalu mencari – cari kesalahan orang lain, berkata asal berkata dan keras kepala.
-          Metreya artinya orang yang hanya dapat berkata kasar dan suka menyakiti dan menyiksa orang lain, sombong pada diri sendiri ”siapa dapat menyaingi aku” pikirannya. Ia suka mengganggu dan melarikan istri orang lain.
-          Megata artinya tidak ada tingkahnya yang dapat dipuji, meskipun ia berkata atau kata – katanya manis dan merendah, tetapi dibalik lidahnya ada maksud jahat. Ia tidak merasakan kejelekannya, berbuat jahat, menjauhi susila. Ia kejam.
-          Ragastri artinya suka memperkosa perempuan baik – baik, dan memandang mereka dengan mata penuh nafsu.
-          Kutila artinya menyakiti orang lain, menyiksa dan menyakiti orang miskin dan malang, pemabuk dan penipu. Tidak seorangpun yang berkawan baik terhadapnya.
-          bhaksa bhuwana artinya orang yang suka membuat orang lain melarat. Ia penipu orang jujur. Ia berfoya – foya dan berpesta – pesta melewati batas. Ia sombong. Kata – katanya selalu menyakiti telinga.
-          Kimburu artinya orang yang menipu kepunyaan orang jujur. Ia tidak peduli apa mangsanya itu keluarga, saudara atau kawan. Ia tidak segan mencoba mencuri milik para pendeta.
Inilah tingkah orang melakukan kesepuluh dosa itu. Ini tidak bagus.
Demikianlah lukisan atau gambaran kecenderungan sifat baik dan buruk yang dipaparkan dalam Kitab Slokantara.

II.3      Pengendalian Diri
            Didalam Kitab Slokantara tidak dijumpai ajaran pengendalian diri secara sistematis seperti yang dipaparkan dalam ayat 84 yang berbunyi :
            Inilah dosa para martha hendaknya dipahami oleh ia yang mengabdi pada Dharma, ia yang bersiap – sipa untuk melaksanakan sifat kependetaan, yang ingin kembali menjadi manusia, yang luput dari dosa kawah neraka, maka itulah dasar paramartha hendaknya dilaksanakan.  Manakah itu ? Tapa, Brata, Smadhi, Santa, Samanta, Karuna, Karuni, Upeksa, Mudita, Maetri.
-          Tapa artinya meninggalkan keduniawian
-          Brata artinya mengurangi kepentingan hidup
-          Smadhi artinya membiasakan diri bangun malam hari, merenungkan Dharma.
-          Santa artinya Satunya kata tidak berbohong
-          Samanta artinya hanya satu yang diinginkan yaitu berbuat kebajikan
-          Karuna artinya cinta kasih terjadap sesama hidup
-          Karuni artinya cinta kasih terhadap tumbuh – tumbuhan dan semua binatang
-          Upeksa artinya mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, kemudian juga mengajar yang bodo dan keada yang tampan
-          Mudita artinya pikiran yang baik, senang dalam hati, tidfak benci bila diberi petunjuk
-          Maetri artinya menyampaikan kata – kata yang baik kepada sesama hidup
Yang merupakan ajaran pengendalian diri yang sesuai dengan ajaran yoga adalah tapa, brata, smadhi, bagian yang lain merupakan ajaran etika.

II.4      Paparan Etika yang terdapat dalam kitab Slokantara
  1. Satya dan Dharma terdapat dalam Slokantara Sloka 1, yang berbunyi :
Sebagai halnya golongan brahmana diantara manusia, sebagai halnya matahari diantara sumber cahaya, sebagai halnya kepala diantara anggota badan, diantara Dharma, kebenaranlah yang paling mulia.
Slokantara 7, yang bunyinya :
Tidak ada dharma lebih tinggi dari satya, tidak ada dosa yang lebih rendah dari dusta, dharma harus dilaksanakan diketiga dunia ini dan satya harus tidak dilanggar
Slokantara 9, yang bunyinya :
Adapun keremajaan dan wajah yang tampan tidan kekal itu, sebenarnya. Kekayaan, semua hal milik tidak kekal itu dan orang yang makan dan tidur bersama istri pun tidak kekal keadaannya. Oleh karena itu, dharmalah yang pertama – tama harus diusahakan dan diperbuat. Sungguh tidak ada cacatnya menjadi manusia kalau senang menampilkan segala apa yang dinamakan dharma sasana pada sang pandita. Agar supaya tidak menemui neraka. Demikian sepatutnya hal ikhwal menjadi manusia
  1. Catur Paramita adalah empat ajaran yang mulia.
-          Maetri, kasih sayang lepada semua mahluk tanpa mengindahkan kasih
-          Karuna, bentuk kesadaran yang menghendaki lenyapnya kesadaran semua mahluk
-          Mudita, rasa senangnya batin karena bahagianya semua mahluk
-          Upeksa, bentuk kesadaran batin yang tidak mementingkan hasil
  1. Sapta Timira : tujuh kegelapan, dalam Slokantara 21 disebutkan :
Keterangnnya, yang menyebabkan orang menjadi mabuk, tiga macamnya yaitu :
-          Sura yaitu tuwak
-          Saraswati yaitu pengetahuan
-          Laksmi yaitu kekayaan seperti emas, perak.
Itulah yang menyebabkan mabuk pikiran orang. Bila ada orang yang tidak kena mabuk karena tuwak, karena pengetahuan, karena kekayaan emas, perak. Maka ia disebut purusa, manusia sejati. Bila ada orang yang demikian itu, benar – benar ia akan dicintai oleh masyarakat. Demikianlah ajaran Kitab Suci.
Dalam kakawin nitisara 19 disebutkan :
Hal – hal yang menyebebkan mabuk ialah ketampanan, kekayaan, keturunan, keremajaan, dan juga minuman keras dan kepahlawanan membuat mabuknya pikiran semua orang. Bila ada orang kaya, tampan rupawan, pandai, banyak hartanya, berdarah bangsawan lagi muda umurnya dan karena semua itu ia tidak mabuk ia adalah orang utama, kebijaksanaannya tida ada badingannya.
  1. Sangsarga, didalam Slokantara Sloka 45 berbunyi :
Jika ada orang yang bershabat dengan orang yang rendah budinya tentulah orang itu akan kena pengaruh budi yang rendah dan jahat. Demikian pula dengan orang yang bersahabat dengan orang yang baik budi akan ken apengaruh budi baik. Contohnya seperti halnya dua burung atat yang bernama si Gawaksa dan si Giwika, yang satu ditangkap oleh seorang pemburu, dan dipeliharanya dan yang seekor lagi ditangkap oleh seorang pendeta dan peliharanya. Pada suatu hari ada seorang raja berburu, terseatlah beliau seorang diri, terlunta – lunta hingga sampailah beliau dirumah seorang pemburu, tempatnya burung atat si Giwika, berkatalah burung ata itu kepada sang prabu, katanya ”ah itu dia, makan, belah kepalanya” demikianlah kata burung atat itu, terdengarlah oleh sang prabu, larikah beliau itu, sampai dipertapaan sang pendeta, tempatnya burung atat si Gawaksa. Berkatalah burung itu katanya ”duhai, bahagialah tuanku raja! Sayang tuanku terlunta – lunta sampai dipertapaan ini, silahkan istirahat dan duduk di balai – bali yang baru itu, sambil makan buah ampiji, sirih muda, kapur mentah, bila tuanku letih, silahkan tuanku mandi di kolam itu” demikianlah kata burung atat itu pada baginada. Heranlah hati baginda raja mendengar kata – kata burung atat itu.pada akhirnya baginda raja bertanya kepada sang pendeta, tentang burung ata yang dipeliharanya itu. Menjawablah sang pendeta ”sesungguhnya hal itu disebabkan oleh karena persahabatan”. Kesimpulannya bagi orang yang baik budi janganlah ia tidak memilih sahabat, pilihlah yang dapat menambah kebijaksanaan. Janganlah ia bersahabat dengan orang jahat, sebab orang akan mengantar ke neraka. Demikianlah ajaran agama menyebutkan.
Dalam kitab Slokantara diajak kita supaya hati – hati didalam memilih sahabat dalam pergaulan. Hal ini juga terdapat dalam kitab Tantri Kamandaka tentang cerita burung bangau dengan ikan, si tuma dengan si titih, si wenari dan i papaka.

Wednesday 10 December 2014

KEBERADAAN DEWI PARWATI, DEWI UMA, DEWI DURGA, DAN DEWI KALI


1.      Pendahuluan
Agama Hindu memiliki beberapa konsep ke-Tuhanan yang unik. Diantaranya ada dua konsep yaitu, konsep Nirguna Brahman dan konsep Saguna Brahman. Nirguna Brahman adalah salah satu konsep yang menyebutkan bahwa Tuhan itu tanpa wujud, tidak bias dipikirkan sama sekali. Sedangkan Saguna Brahman adalah konsep yang menyebutkan bahwa Tuhan itu sudah memiliki bentuk kepribadian dan sudah bias masuk ke dalam akal pikiran manusia.Konsep Saguna Brahman inilah yang berkembang menjadi konsep polytheisme yang nantinya menjadi konsep dasar dari munculnya konsep Tri Murti yang sering diwujudkan kedalam wujud tiga pribadi Tuhan yang berbeda, yaitu Brahma, Visnu, dan Siva.Konsep Tri Murti tersebutlah yang berkembang menjadi konsep Deva-Devi dalam agama Hindu.
Kepercayaan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan, didasarkan kepada tiga hal, yaitu: berdasarkan petunjuk dari para Maha Rsi dan para Akhli atau tokoh Agama, berdasarkan kesimpulan dari suatu penilaian yang logis, dan berdasarkan langsung oleh para Maha Rsi atau orang-orang yang telah suci Karena diyakini bahwa Tuhan menurunkan wahyuNya kepada orang-oprang yang suci, baik itu dari pikiran, perkataan, maupun perbuatannya.

2.      Konsep Tuhan dalam agama Hindu
Sebelum meneruskan pembahasan tentang Keberadaan Devi Parwati, sangat penting kiranya untuk mengetahui suatu konsep tentang Tuhan dalam Hinduisme.Agama Hindu tidak bergantung dari sebuah kitab suci tunggal saja seperti yang dilakukan oleh agama besar lainnya di dunia ini.Namun keseluruhan tubuh dari kepustakaan filosofis menerima kitab-kitab Upanisad dan Bhagawad Gita sebagai sumber yang dapat dipercaya dan tidak bertentangan dengan ajarannya.
Tuhan dalam agama Hindu adalah sang pencipta segala apa yang ada. Kitab suci Hindu menggambarkan kemahatahuan Tuhan dan kemahakuasaan Tuhan.Tuhan merupakan perwujudan dari keadilan, kasih sayang, dan keindahan.Dalam kenyataannya, Tuhan merupakan perwujudan dari segala kualitas terberkati yang senantiasa dapat diterima oleh manusia.Konsep Tuhan memiliki dua gambaran yang khas, tergantung dari kebutuhan dan selera dari para pemujaNya. Beliau dapat dilihat dalam suatu wujud yang mereka sukai untuk pemujaan dan penggapaianNya melalui wujud tersebut. Kemudian ada aspek Tuhan yang lain sebagai konsep yang Mutlak, yang biasanya disebut sebagai Brahman, yang berarti besar tak terbatas. Dan Tuhan adalah ketakterbatasan itu sendiri.Telah dinyatakan bahwa untuk dapat menyatakan keberadaan Tuhan adalah dengan menyebut Tuhan itu “Bukan ini, bukan itu”.Pada sifat esensial Tuhan, beliau didefinisikan sebagai “Sat-Cit-Ananda” atau “keberadaan-kesadaran-kebahagiaan”.Ini merupakan dasar dari segala keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan.
Arti kata Brahman adalah doa, oleh sebab itu sloka-sloka dalam kitab suci Hindu disebut sebagai doa. Brahman kemudian diartikan sebagai obyek doa, Tuhan yang digambarkan sebagai realitas tanpa pribadi (Titib, 1999:51). Kemudian Brahman dikatakan berasal dari bahasa sanskrta dengan akar kata bhryang berarti memberi hidup, menumbuhkan, menjadikan hidup, menjadikan berkembang (Jendra, 2008:1). Sedangkan dalam kamus sanskrta-Indonesia (Surada, 2007:239) kata Brahman diartikan sebagai jiwa tertinggi, nyanyian, puji-pujian, kitab suci Veda, penebusan dosa, kesucian, kebahagiaan terakhir, ilmu keTuhanan, kekayaan, makanan, pencipta, matahari, dll.

3.      Sakti atau daya Tuhan sebagai Dewi
Alam semesta yang kita saksikan dan alami merupakan suatu berkas energy, baik yang terbungkus maupun tidak.Ini merupakan penemuan dariu ilmu pengetahuan modern, yang secara incidental  telah meruntuhkan perbedaan antara materi dan energy. Ada satu energy dasar dibalik segala wujud materi dan energy.Filsafat Hindu yang didasarkan pada Vedanta, lebih umum dikenal dengan istilah Tantra.Tantra merupakan batang tubuh yang luas dari literature keagamaan Hindu yang dibaktikan untuk mengemukakan kepercayaan terhadap Tuhan.Sumber dan pemelihara segala ciptaan, baik itu tingkat materi atupun kehidupan ataupun pikiran, adalah satu dan hanya satu adanya. Sakti Brahman dari Vedanta dan Sakti atau Devi dari Tantra adalah sama. Bila energy berada dalam keadaan statist tanpa evolusi maupun involusi, bila alam semesta diciptakan bahkan tidak dalam benih sekalipun, ia disebut Brahman. Bila ia mulai mengembang menjadi ciptaan ini, memeliharanya dan menyerapnya kembali kedalam dirinya sendiri, itu disebut sakti.
Dalam literature Mithologi Hindu seperti juga dalam kitab-kitab tantra, energy ini selalu digambarkan dalam wujud Devata perempuan, Devi, sebagai pendamping dari dewata pasangannya.Setiap anggota Tri Murti memiliki Sakti atau Devi sebagai pendampingnya.

4.      Dewi Parvati
Seperti apa yang sudah dijelaskan di atas, bahwa masing-masing dari Tri Murti memiliki Sakti atau Daya yang mendampingiNya. Sehingga ketika menyebut namaParvatipikiran kita tidak dapat terlepas dari bayangan Siva, sebab Parvati disini adalah Daya dan pendamping dari Deva Siva, Deva pemusnahan dan Deva Pemecahan.
Mayoritas dari para Devi Hinduisme merupakan aspek dan ragam dari Parvati.Nama yang dikenal dan dipuja sangat banyak untuk diketengahkan disini. Bila beberapa namaseperti Parvati, Haimavati Girija, dan Daksayani menyatakan asal mulanya dari Himalaya atau Daksa (salah satu nenek moyang umat manusia). Nama lain seperti Siva, Mrdani, Rudrani, dan Sarvani menekankan aspek sebagai pendamping dari Deva Siva. Namun yang lainnya seperti Aparna dan Uma memiliki referensi khusus pada cerita tertentu dalam Purana.
Walaupun seluruh devata perempuan disebut dengan sakti dari pasangan laki-lakinya, kata sakti dan devi bersifat lebih khusus bahkan bias disebut lebih eksklusif. Yang digunakan untuk menyatakan sakti Siva, aspek Parvati tak terhitung banyaknya.Dengan menganggap Siva sebagai Mahadeva, Tuhan tertinggi, Parvati menyatakan dayanya sebagai pencipta, pemelihara, dan penghancuran alam semesta.Himalaya menyatakan Akasa atau ether, substansi mendasar pertama.Mena menyatakan kecerdasan.Karena itu Parvati sebagai keturunannya menyatakan substansi kesadaran dari alam semesta.Itulah sebabnya dia juga disebut Uma (sinar yang cemerlang).Pada tingkat subyektif, Uma-Haimavati menyatakan Brahma Vidya atau kebijaksanaan spiritual, untuk mencapai penyatuan dengan Siva.

4.1  Uma
Sakti Deva Siva diberi nama sesui dengan perwujudannya yang ganda, yaitu berwujud “santa” atau tenang, dan bersifat “raudra” atau “krodha”. Ketika dalam wujud santa, sakti Deva Siva ini disebut dengan Parvati, yaitu seorang devi dengan penuh kecantikan dan kasih sayang. Selain disebut dengan Parvati, juga disebut dengan Devi Uma atau dewi Kedamaian.Didalam kitab Purana disebutkan Devi Parvati pada penjelmaan pertamanya adalah Daksayani, yaitu putri dari Daksa dan Prasuti dan menikah dengan Siva.Karena tidak mampu memahami keagungan Siva, Daksa memakinya dan mulai membencinya.Ketika Daksa melakukan suatu upacara Kurban Agung, salah satu tamu yang tak diundang adalah Siva. Sangat bertentangan dengan saran pasangannya, Daksayani pergi ke tempat upacara tanpa diundang dan mengakhiri hidupnya dengan membakar diri dalam api yoga. Oleh sebab itu, kemudian ia dikenal dengan sebutan Sati yang tak berdosa. Berikutnya dia terlahir kembali menjadi Parvati, putri dari Himawan dan Mena.Setelah melakukan tapa yang mendalam, dia mampu menyenangkan Siva dan membuat Siva dapat menerimanya kembali sebagai pendampingnya.
Selama Parvati melakukan pertapaan, dia menolak untuk makan dan minum, walaup daun kering sekalipun. Sehingga dia memperoleh penampakan Aparna Ibunya Mena yang tidak tega menyaksikan putri kesayangannya menderita dalam melakukan tapa, dan berusaha mencegahnya dengan kata-kata “Uma, sayangku janganlah berbuat seperti ini” yang kemudian nama Uma menjadi nama lainnya.
Seperti pendamping Siva, Parvati juga memiliki dua aspek yang berbeda, yaitu aspek lemah lembut, penyayang, dan berparas cantik, serta satu aspek lain adalah aspek menakutkan dan mengerikan. Sebagai Parvati atau Uma dia dinyatakan dengan aspek yang lemah lembut, penyayang, penuh cinta kasih. Dimana dalam aspek ini, dia selalu bersama dengan Siva. Kemudian dalam aspek ini dia memiliki dua tangan, yang kanan memegang teratai biru, dan yang kiri menggantung bebas disebelahnya. Bila dinyatakan secara mandiri (Parvati Tunggal/tanpa Siva), dia tampak dengan empat tangan, dua tangan memegang taratai merah dan biru, sedangkan dua tangan yang lain memegang Varada dan Abhaya Mudra.

4.2  Durga
Durga merupakan aspek sakti yang paling banyak dipuja. Arti kata Durga yang sebenarnya adalah “sulit didekati atau sulit dikenal”. Menjadi personifikasi dari keseluruhan kekuasaan para Deva, Dia wajar sulit didekati atau dikenali. Namun sebagai Ibu Alam Semesta, dia merupakan perwujudan dari kasih sayang dan kelemahlembutan, bila dimohonkan.
Aspek Durga yang dinyatakan dalam kitab-kitab Purana dan agama adalah pasukannya saja, seperti Sailaputri, Kusmanda, Katyayani, Ksemankari, Harasiddhih, Vanadurga, Vindhavasini, Jayadurga, dan lainya. Mereka akan lebih menarik dalam ikonografi dan pada para pemohon yang dapat memperoleh jenis keinginan lain terpenuhi oleh pemujaan aspek yang berbeda-beda.
Patung-patung Durga dapat memiliki empat/ delapan/ sepuluh/ delapan belas/ duapuluh tangan. Matanya biasanya tiga, rambutnya dibentuk menyerupai mahkota (Karandamukuta), dia secara indah diberikan pakaian merah dan beberapa hiasan. Beberapa benda-benda yang dipegangnya, yang lebih umum adalah: kulit kerang, cakra, trisula, busur, anak panah, pedang, belati, tameng, genitri, mangkuk anggur, dan genta. Dia digambarkan berdiri pada sebuah bunga Padma atau kepada kerbau atau menunggangi seekor singa. Singa sebagai raja rimba merupakan simbolik ciptaan binatang terbaik, dia juga menggambarkan keserakahan terhadap makanan, sehingga ketamakan terhadap obyek-obyek kenikmatan yang tak terhindarkan membawa pada nafsu.
Mahisasuramardini adalah Devata yang mengambil wujud sebagai hasil dari pengumpulan kekuatan-kekuatan semua Deva yang ditindas oleh Raksasa Mahisasura. Brahma, Visnu, dan Siva marah mendengar ulah perbuatan jahat dari Mahisasura, dan dan sang Devi lahir dari kemurkaan mereka, yang diikuti oleh kemurkaan para Devata lain yang lebih rendah. Kekutan dari para Deva membentuk anggota badan dan penggandaan yang tepat dari senjata-senjata dan dengan menunggangi seekor singa yang mengerikan, Mahisasuramardini menantang Mahisasura dan menghancurkannya bersama dengan pasukannya.Dia merupakan kekuatan misterius yang mana seluruh alam semesta diresapi dan dihidupkannya.Dia merupakan perwujudan dari kekayaan, kekuasaan, keindahan, dan juga kebajikan.Dia merupakan pengejawantahan dari yadnya, paravidya, dan aparavidya.
Ketika para Deva diserang oleh raksasa Sumbha dan Nisumbha, mereka kembali memohon kepada sang Devi, dengan pujian Aparajitastotra memujinya sebagai tak tertaklukkan imanensinya pada segala makhluk hidup merupakan tema dari pujian-pujian ini. Dalam menanggapi doa tersebut, sang Devi berwujud sebagai Kausiki Durga yang muncul dari badan Parvati, dan dia sendiri menjadi Kali, yang gelap  setelah manifestasi ini. kecantikan Durga yang mempesona dunia menarik perhatian Sumbha dan Nisumbha, yang mengirim usulan pernikahan melalui seorang budak. Namun mereka tidak berdaya saat “kelemahan dan kebodohan” dia telah bersumpah untuk menikahi mereka yang mampu mengalahkannya dalam perang.
Durga memiliki tiga manifestasi yang utama, yaitu: Mahakali, Mahalaksmi, danMahasaraswati. Mahakali memiliki sepuluh muka dan sepuluh kaki.Dia berwarna biru tua, ibarat permata Nilamani. Di kesepuluh tangannya menyandang sepuluh senjata, yaitu: pedang, cakra, gada, anak panah, busur, pemukul besi, tombak, ketapel, kepala manusia dan kulit kerang. Sebagai personifikasi aspek tamasika dari sang Devi, dia juga Yoganidra, yang telah membuat Visnu tertidur. Kepadanyalah Brahma memohon untuk meninggalkan Visnu sehingga dapat memusnahkan Raksasa Madu dan Kaitabha. Mahalaksmi merupakan aspek rakasika dari sang Devi. Beliau dilukiskan dengan warna merah seperti batu karang.Pada kedelapan belas tangannya memegang genitri, periuk-perang, gada, trisula, tombak, pedang, tameng, kulit kerang, genta, mangkuk anggur, jerat dan cakra sudarsana. Beliaulah yang menghancurkan Raksasa Mahisasura. Mahasaraswati adalah devata ketiga yang menyatakan aspek satvika dari sang devi. Dia cemerlang bagaikan bulan di musim gugur dan memiliki delapan tangan, yang masing-masing memegang genta, trisula, mata bajak, kulit kerang, alu, cakra, busur dan anak panah.Dialah yang merupakan lapisan fisik dari Parvati, sehingga dikenal sebagai Kausiki Durga. Dia merupakan simbol kesempurnaan dan keindahan fisik. Dia merupakan kekuatan dari kerja, aturan, dan organisasi.

4.3  Kali
Dari semua bentuk patheon Hindu, mungkin Devi Kali yang paling aneh jika dipandang melalui pandangan modern. Siapa yang tidak ketakutan dan merasa mual melihat bentuk wanita gelap yang telanjang yang mengenakan celemek tangan-tangan manusia dan untaian kepala manusia, khususnya juga saat dia memegang kepala manusia yang baru saja dipotong dan pemotong yang digunakan membantai masih berlumuran darah.Semua ceritanya membuat bingung para pembaca ataupun pendengar, terlebih ketika semua itu tidak selaras dengan kelembutan dan kesopanannya sendiri.
Kata Kali berasal dari kata yang tidak asing ditelinga masyarakat, khususnya masyarakat Hindu di Bali, yaitu Kala atau waktu. Dia adalah daya dari waktu, waktu yang kita semua mengenalinya dengan baik adalah pemusnah segalanya. Itulah sebabnya Tuhan bersabda dalam Bhagadgita XI. 32:
“Aku adalah waktu yang maha perkasa untuk menghancurkan dunia yang sekarang ini terlibat dalam memusnahkannya, walaupun tanpa engkau semua angkatan perang yang ditempatkan pada barisan yang memusuhimu tak akan hidup”.
Penggambaran Kali pada umumnya dijumpai dalam kitab-kitab suci, gambar-gambar, dan patung, latar belakangnya adalah wilayah kremasi atau tempat pembakaran mayat atau medan perang yang menunjukkan tubuh-tubuh mati termasuk yang dirusak. Dia berdiri dengan sikap menantang pada badan mati yang merupakan pendampingnya sendiri, yaitu Siva.Bila Siva berwarna putih tulus, dia berwarna biru tua yang berbatasan dengan kegelapan.Dia sepenuhnya telanjang, kecuali pada celemek tangan-tangan manusia. Dia menggunakan untaian empatpuluh tengkorak kepala manusia.Rambutnya yang lebat sepenuhnya kusut awut-awutan.Dia memiliki tiga buah mata dan empat lengan. Pada tangan atas, dia memegang potongan kepala manusia yang masih mengeluarkan darah segar, demikian juga pedang yang digunakan untuk memotongnya. Dua tangan bawah bersikat abhaya dan Varada Mudra.Mukanya merah dan lidahnya menjulur keluar.
Latar belakang atau situasinya sangat selaras dengan temanya. Potongan kepala dan pedang merupakan pernyataan grafis tentang penghancuran yang sedang berlangsung.Tuhan dikatakan telah menciptakan alam semesta dan kemudian memasukinya.Dengan demikian alam semesta ini menjadi sebuah tabir, selubung bagi ketuhanan itu. Bila itu dimusnahkan, maka ketuhanan itu akan tetap terbuka. Itulah makna Kali yang talanjang sehingga dia diistilahkan sebagai Digambara yang artinya berpakaian ruang.Menggunakan ruang angkasa yang tak terbatas sebagai pakaiannya.

4.4  Lalita
Aspek lain dari dewi Parvati yang secara luas dipuja di India Selatan adalah Lalita Tripurasundari. Pengulangan Lalitasahasranama dan Trisati yang terkenal, seperti halnya pemujaan lanbangnya sebagai “Sricakra” sangatlah popular.Bila Durga dan Kali menyatakan daya aspek kekuasaan dari para Devi, Lalita menyatakan aspek keindahannya.Oleh sebab itu wujudnya digambarkan sebagai sangat cantik dan pemujaannya lebih lembut.
Menurut Lalitopakhyana dari Barhmanda Purana, Lalita Deavi mewujudkan dirinya ditengah-tengah jentera yang sangat cemerlang, yang muncul dari lubang upacara kurban, ketika Indra melakukan upacara kurban dalam menghormatinya. Atas perintah para deva yang berkumpul disana, ia memilih untuk menikahi Kamesvara (Siva). Dia memusnahkan raksasa Bandasura dan melenyapkan kotanya, Sonitapura. Visvakarma, yaitu arsiteknya para Deva membangun sebuah kota Sripura yang indah pada pegunungan Himalaya, demi untuknya, dimana dia bersama-sama dengan Pasangannya Siva Kamesvara menempati kota tersebut secara abadi.
Bhandasura, raksasa yang tidak tahu malu, yang tinggal di Sonitapura, kota darah dan daging, sebenarnya adalah ego yang membuat sang roh menyamakan dirinya dengan badanmenjauhkannya dengan Tuhan. Ketiika Sang Devi yang merupakan kekuasaan dan berkah Tuhan membunuhnya, dia sebenarnya membebaskannya dari pembatasan yang melilitnya. Lalita digambarkan dengan warna agak merah (seperti warna fajar) dan luar biasa cantik.Pada keempat tangannya dia memegang busur dari tebu, anak panah, kait gajah (ankusa) dan jerat (Pasa). Kadang-kadang dia tampak memegang mangkuk anggur yang terbuat dari intan.Salah satu kakinya yaitu yang kiri terlihat santai pada pedestal (alas patung) yang juga dari intan.Busur yang terbuat dari batang tebu sebenarnya menyatakan pikiran.Melalui pikiranlah sebenarnya kita mengalami segala kegembiraan.

4.5  Aspek-aspek lain Parvati
4.5.1        Sapta-mtrka
Menurut Durgasaptasati salah satu naskah dasar dari kepercayaan ibu, ketika Kausikidurga berperang dengan raksasa Raktabija yang darahnya bila menetes akan mengeluarkan raksasa yang sama dengan dirinya. Maka dari diri Kausikidurga, dia menciptakan tujuh emanasi. Tujuh emanasi inilah yang disebut dengan Sapta Mtrka(tujuh ibu kecil).Mereka itu adalah Brahmi, Mahesvari, Kaumari, Vaisnavi, Varahi, Narasimhi, dan Aindri.Nama itu merupakan sakti dari Brahma, Isvara, Kumara, Visnu, Varaha, Narasimha, dan Indra.Karena itu, mereka memiliki wujud senjata sesuai dengan pasangannya.

4.5.2        Dasamahavidya
Sepuluh aspek sakti kadang digambarkan dalam karya-karya tantric. Mereka diistilahkan dengan Dasamahavidya yang merupakan pernyataan dari pengetahuan dan kekuasaan, mengatasi sebagai sumber dari segalanya yang dikenal. Pertama adalah Kali, yaitu devi yang memusnahkan segalanya. Kedua adalah Tara, kekuasaan dari janin keemasan (Hiranyagarbha), dia juga menyatakan kekosongan atau ruang tak terbatas.Yang ketiga adalah Sodasi, personifikasi kesempurnaan. Yang keempat Bhuvanesvari, menyatakan kekuatan dunia material, yang kelima Bhairavi, menyatakan keinginan dan cobaan yang mengantar pada pemusnahan dan kematian, yang keenam Chinnamasta, devata telanjang yang membawa kepalanya sendiri yang terpotongditangannya dan meminum darahnya sendiri. Dia menyatakan keadaan berlanjut menghidupi diri dari dunia yang tercipta dimana terlihat penghancurandiri dan pembaharuandiri terus-menerus. Yang ketujuh Dhumavati, yang melambangkan penghancuran dunia oleh api, manakala hanya asap (Dhuma) dari abunya yang tertinggal, terkadang dia disamakan dengan Alaksmiatau Jyesthadevi. Vidya kedelapan adalah Bagala yaitu devi berkepala burung bangau, dan menyatakan sisi burung dari makhluk hidup seperti kecemburuan, kebencian, dan kekejaman. Yang kesembilan Matangi, yaitu perwujudan dari kekuasaan dominasi, dan yang terakhir adalah Kamala yaitu kesadaran murni dari sang diri. Dia disamakan dengan Laksmi, devi penganugerah.

4.5.3        Annapurna
Annapurna merupakan pemilik dan pemberi makanan. Parvati mendapat nama tersebut karena dia selalu menyediakan makanan bagi Siva ketika ia berkelana sebagai seorang pengemis. Dia terlihat menyiapkan makanan pada wadah yang dari batu permata. Pemujaannya memastikan bahwa kepala rumah tangga tidak akan pernah kekurangan makanan.

4.5.4        Aparajita
Apajita adalah Salah satu nama Durga dan serangkaian sloka terkenal dalam candi berakhir dengan kata-kata “namas tasyai” disebut Aparajitastotra.

4.5.5        Bala
Bala merupakan anak-anak yang dianggap sebagai putri Lalita dan selalu berumur Sembilan tahun, dia dikatakan telah memusnahkan tigapuluh putra Bhandasura.

4.5.6        Bhadrakali
Bhadrakali adalah salah satu dari beberapa aspek Mahakali.Dia muncul dari kemarahan Uma, ketika Dhaksa menghina Siva dan berperang bersama dengan Virabhadra untuk menghancurkan upacara kurban Daksa.

4.5.7        Bhutamata
Bhutamata merupakan Ibu dari para setan.Dia tinggal dibawah pohon Asvatta dan memiliki pengiring sejumlah setan, raksasa, dan makhluk setengah deva.

4.5.8        Camunda
Aspek Camunda samadengan Kali, dia mendapatkan nama ini karena telah membunuh Canda dan Munda dalam perang melawan Sumbha dan Nisumbha. Terkadang dia dimasukkan ke dalam Saptamatrka.

4.5.9        Gayatri, Savitri, dan Sarasvati
Ketiga Devi ini menyatakan tiga aspek devata yang menjiwai mantram gayatri terkenal yang diucapkan tiga kali sehari. Gayatri merupakan devata yang menjiwai doa di pagi hari, mengatur rgveda dan api Gharapatya. Dia memiliki empat wajah, empat/sepuluh lengan dan menunggangi seekor angsa. Savitri menjiwai doa tengah hari, mengatur yajurveda dan api daksina. Dia memiliki empat wajah, duabelas mata, empat lengan dan mengendarai seekor lembu jantan. Saraswati adalah devata yang menjiwai doa malam hari, mengatur samaveda dan api Ahavaniya. Dia memiliki satu wajah dan empat lengan serta mengendarai burung garuda.

4.5.10    Indraksi
Indraksi adalah devata yang matanya mirip dengan mata Indra. Dia merupakan aspek devi yang khusus dipuja oleh Indra seperti halnya wanita Apsara (gadis-gadis surgawi). Dia banyak dihias dan memegang Vajrayuda. Bila dia disenangkan dengan puji-pujian, dia bahkan bias menyembuhkan penyakit yang taktersembuhkan.

4.5.11    Jagad-dhatri
Devi ini adalah aspek lain dari sang devi yang lebih umum dipuja di Bengala. Dia disebut “yang memelihara dunia”, dia memiliki empat lengan yang membawa kulit kerang, cakra, busur dan anak panah serta mengendarai seekor singa.

4.5.12    Kamesvari
Kamesvari adalah aspek devi sebagai penguasa keinginan. Karena Siva memusnahkan Kama, Deva Asmara, dia dikenal sebagai Kamesvara, yang merupakan penguasa nafsu atau keinginan.Devi yang menjadi pendampingnya bernama Kamesvan. Dia sebenarnya merupakan  nama lain dari Lalita. Dia dapat memenuhi keinguinan yang dimohonkan kepadanya.

4.5.13    Katyayani
Karena devi terdahulu pernah terlahir sebagai putri dari seorang Rsi yang bernama Kata, dia dikenal sebagai Katyayani. Dia sepenuhn ya merupakan daya kekuatan dari Tru Murti Hindu. Uraian tentangnya praktis sesuai dengan cerita Durga sebagai Mahisasura-Mardini.

4.5.14    Manonmani
Manonmani disebut sebagai dia yang meningkatkan pikiran pada keadaan yoga tertinggi.Dia merupakan sakti yang mantap pada pusat psikhis pada puncak kepala, dibawah Brahma-randhra. Dia digambarkan berwarna biru atau hitam kulitnya dan membawa sebuah mangkuk, tengkorak kepala, dan juga sebuah pedang, bila dia bias disenangkan dengan doa pujian dari para Bhaktanya, dia dapat memberkahi kekayaan dan menakuti musuh-musuhnya.

4.5.15    Rajarajesvari
Rajarajesvari adalah dia yang menjadi pengatur rajadiraja. Aspek Devi ini bahkan menguasai Brahma, Visnu, dan Mahesvara seperti halnya Kubera (penguasa kekayaan) yang dikenal sebagai rajadiraja.Dia merupakan aspek dari Lalita.

4.5.16    Sivaduti
Dalam peperangan melawan Sumbha dan Nisumbha, sang devi mengirim pasangannya sendiri yaitu Siva sebagai duta kepada mereka. Karena itu, dia dikenal sebagai Sivaduti yang menjadikan Siva sendiri sebagai seorang duta. Dia kadang-kadang terlihat seperti Kali dan terkadang terlihat seperti Durga.

5.      Kaitan Parvati dengan Ngereh dan Rangda di Bali
Jika kita kaitkan antara keberadaan Devi Parvati dengan ritual ngereh dan keberadaan Rangda di Bali, maka kita bias arahkan pikiran kita pada aspek Devi Parvati dalam wujud beliau sebagai Durga. Dalam masyarakat Bali dikenal ada istilah Petapakan.Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok makhluk magis yang meyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya Ida Betara Rangda.Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang Bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi. Panungrahan artinya pemberian dari Dewa
Petapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali, namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu.Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat modern dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa, atau Pura mesti ada Petapakan Ida Betara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Betara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri India, mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali, mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikannya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pralina yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut.
Dalam kisah cerita Calonarang diungkapkan, setelah Raja Airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman Calonarang Janda Girah, maka janda penekun ilmu hitam ini mengajak murid-muridnya ke kuburan untuk menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dari Girah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga. Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung, muncullah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambut mengombak, membentangkan kain selendang pada susu, penuh hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah badan, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan apa tujuan walu ing girah (janda dari girah atau Girah) menghadap.
Citra perwatakan Dewi Durga yang demikian seram itu, kelak muncul dalam rangda yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali.Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya seniman pertama yang menciptakan.Sosok rangda di Bali tidak dikenal, sosok rangda muncul di sejumlah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat Bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu. Lontar-lontar (daun pohon lontar yang berisi aksara suci) itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapatkan anugrah ketakson.Sementara itu, mitos-mitos yang diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut.Cerita-cerita mengenai makhluk-makhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos itu, dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari, jika petunjuk-petunjuknya tidak dipenuhi.Dalam mitos-mitos itu, selalu disebutkan bahwa makhluk-makhluk magis itu menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu.Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu, lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu.Salah satu ciptaan itu adalah Petapakan Ida Betara Rangda.
Puncak harmonisasi antara makhluk - makhluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka prosesi ngereh merupakan bukti adanya kesadaran mistik itu.Petapakan yang mendapatkan ketakson, merupakan bentuk presentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut.Agar petapakan itu dapat menjalankan fungsinya sebagai penangkal ancaman niskala-mistik itu, disamping dapat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka petapakan itu harus sakti, memiliki taksu, dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu. Umumnya, kayu yang digunakan bahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara kayu pule, kapuh (rangdu), jaran, kapas, waruh teluh, dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berusaha menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut.Sakralisasi juga tampak pada hari baik yang harus dipilih saat mulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut hari kilang-kilung menurut kalender Bali. Sakralisasi ini masih harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan pasupati, ngatep, mintonin dan akhirnya ngerehang.
Apa sesungguhnya ngereh itu? Beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain lontar Canting Mas dan Sewer Mas Widi Sastra, Ganapati Tattwa dan lontar Pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberi penjelasan mengenai ngereh dalam perspektif  yang luas sehingga ada kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia, sebab dilakukan di kuburan pada tengah malam, adalah pengertian yang sempit.Meskipun demikian, pengertian ngereh yang sempit inilah yang hidup dalam benak masyarakat Hindu Bali.
Ngereh sebagai prosesi ritual-mistik di kuburan dan dilakukan pada tengah malam adalah tahapan akhir dari proses sakralisasi Petapakan Ida Betara Rangda. Untuk hal pertama, setelah Petapakan dipasupati oleh seorang pendeta (orang suci), maka diadakan ritual ngereh untuk mendapatkan Sakti Panca Durga (lima kesaktian Durga). Apapun istilah yang digunakan untuk menyebut kedatangan roh atau kekuatan sakti itu, yang jelas proses ritual-mistik inilah yang unik dan sangat rahasia. Kerahasiaannya, antara lain dapat dilihat dari tidak banyaknya penduduk yang terlibat dalam prosesi ritual-mistik itu, bagi yang ingin melihat harus dari jarak tertentu, sehingga pengalaman mistik pelaku ngereh adalah pengalaman sedikit orang yaitu orang yang bisa hidup di alam supranatural Bali.
Ngereh biasanya berhubungan dengan Upacara Sakral berupa : Pasupati, Ngatep dan Mintonin. Ngereh artinya memusatkan pikiran, dengan mengucapkan mantra dalam hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan.Pasupati artinya kekuatan dari Dewa Siwa.Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa Jawa Kuna yang artinya menampakkan diri.
Dalam prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda diperlukan tiga tingkatan upakara seperti ; Prayascita dan Mlaspas, Ngatep dan Pasupati, Masuci dan Ngerehin.
Pengertian ketiga tingkatan upacara sakralisasi proses Ngereh Petapakan Betara Rangda diatas adalah sebagai berikut : Tingkat Prayacitta dan Melaspas. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghapuskan noda baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu dan benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara Rangda. Noda ini dapat saja ditimbulkan oleh sangging (seni ukir) ataupun bahan itu sendiri.Dengan Upacara Prayascitta diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.
Ngatep dan Pasupati dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan upacara ini terjadilah proses Utpeti (kelahiran) terhadap Petapakan Betara Rangda. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (Pemujanya).Tingkat Masuci dan Ngrehin, merupakan tingkat upacara yang terakhir dengan maksud Betara Rangda menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai).Tujuan upacara adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan.Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara Rangda mampu menjadi pelindung yang aktif.Upacara ini biasanya dilakukan pada dua tempat yaitu di pura dan di kuburan.Apabila dilakukan di kuburan yang dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung).Begitu pula bila dilakukan di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda.Upacara ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali.Sebagai puncak keberhasilan upacara ini adalah adanya kontak dari alam gaib yaitu berupa seberkas sinar yang jatuh tepat pada pemundutnya (pengusungnya). Si pemundut (pengusung) yang kemasukan sinar itu akan dibuat kesurupan (trance) dan pada saat itu pula si pemundutnya (pengusungnya) menari-nari. Kejadian lain yang menandakan upacara ini berhasil adalah apabila Petapakan Betara Rangda bergoyang tanpa ada yang menyentuhnya.
Jadi ritual Ngereh itu adalah peristiwa kesurupan, yang sengaja dibuat karena untuk membuktikan bahwa “topeng” yang diupacarai sudah memiliki kekuatan gaib untuk keselamatan masyarakat penyungsungnya (Pemujanya).
Tempat pelaksanaan ngereh biasanya di tengah-tengah setra (kuburan) pada hari tilem (gelap) dan hari keramat di malam hari. Jam pelaksanaannya sekitar jam dua puluh tiga yang diawali dengan matur piuning (Pemujaan), ngaturang caru (menghaturkan sesajen yang ditaruh diatas tanah ) dan nyambleh kucit butuhan (memotong babi jantan yang masih muda).
Orang yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Petapakan Ida Betara Randa.Lidah Petapakan Ida Betara Rangda dilipat ke atas kepalanya.Diantara orang yang ngereh dengan Petapakan Ida Betara Rangda itu ditempatkan upakara, yang pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir (daun pisang).Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain berjaga-jaga di sekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut .suasana magis mulai terasa ditambah desiran angin semilir membuat bulu kuduk berdiri.
Untuk menjadi Pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan (Jimat kesaktian). Adanya benda-benda asing di luar kekuatan asli yang berada di badan akan mengganggu masuknya kekuatan Ida Bhatara.
Keberhasilan ngerehditandai dengan adanya gulungan api, atau tiga bola api yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda. Jika sudah masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda, ditandai dengan menjulurnya lidah Petapakan Ida Betara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun berjuntai mengarah ke takir (daun pisang ) yang berisi getih temelung (darah babi jantan) dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan kerauhan (trance) kemudian masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda dan ngelur (berteriak) menggelegar; akhirnya tangkil (datang) ke Pura Dalem, permisi lanjut menuju pura tempat peyogan (persemadian) Ida Betara Durga.
Dalam ngerehang pun memanggil Panca Dhurga untuk mengisi kekuatan rangda. Untuk upacaranya perlu dibuatkan segehan agung (sesajen besar yang ditaruh di atas tanah) beserta perangkatnya yang sesuai dengan lontar pengerehan.Adapun yang dimaksud dengan Sakti Panca Durga adalah lima macam kekuatan Durga yaitu : KalaDurga, Durga Suksemi, Sri Durga, Sri Dewi Durga, dan Sri Aji Durga. Lima macam kekuatan Durga inilah yang menguasai ilmu arah mata angin di dunia niskala (tidak nampak) dan bisa menimbulkan kemakmuran bagi umat manusia maupun bencana apa bila dilanggar batas-batas wilayahnya.
Sedangkan ngerehang rangda sesuai dengan Lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis yang dimiliki oleh rangda itu sendiri, karena rangda merupakan simbol rajas (emosi) yang penuh dengan nafsu untuk menguasai.Dalam lontar Calonarang, rangda artinya janda yang memiliki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri kita sebagai manusia.
Rangda pengerehan dilaksanakan di setra (kuburan), karena setra (kuburan) merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Bhairawi yaitu Dewa kuburan dalam lontar Bhairawa Tatwa, yang merupakan wujud dari Dewi Durga.Dalam mitologinya, disini Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga berupa rangda sehingga muncullah beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra (kuburan) dipakai sebagai tempat ngerehang rangda. Karena penuh dengan kekuatan black magik. Sehingga dalam ngerehang rangda, kalau sudah mencapai puncaknya ia akan hidup. Setelah hidup rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak (setan) atau makhluk halus lainnya.


DAFTAR PUSTAKA



Suhardana, Drs. K. M. 2011. BRAHMAN. Paramita: Surabaya.

Maswinara, I Wayan. 2007. DEWA-DEWI HINDU. Paramita: Surabaya

Titib, I Made. TEOLOGI DAN SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA HINDU. Paramita: Surabaya

Debroy, Bibek. 2001. SIVA PURANA. Paramita: Surabaya

Debroy, Bibek. 2001. LINGA PURANA. Paramita: Surabaya

Pudja Ma. SH, G. 2003. BHAGAWADGITA (Pancama Weda). Pustaka Mitra Jaya: Jakarta

Wirasuyasa, S.Si, Apt, Komang Gde. 2009. ALUR SEBUAH DIALOG HATI. Paramita: Surabaya

Sumber internet :