Tuesday 3 September 2013

Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja



PADMASANA AGUNG PURA JAGATNATHA SINGARAJA
Oleh:
Gede Nova Heri Pratama


1.                Latar Belakang Pembangunan Pelinggih Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja

Pembangunan Pelinggih Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja tidak akan bisa terlepas dari sejarah atau latar belakang dibangunnya Pura Jagatnatha Singaraja, sebab bangunan Padmasana merupakan inti dari keberadaan sebuah pura yang dibangun. Akan terdapat banyak persamaan latar belakang pembangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha dan pembangunan Pura Agung Jagatnatha Singaraja. Padmasana Agung Pura Jagatnatha merupakan pelinggih yang berada di areal Pura Jagatnatha, yaitu Uttamaning Uttama Mandala (Purana Lan Awig-Awig Pura Agung Jagatnatha, 1996). Menurut penuturan narasumber Jero Mangku Gde I Wayan Suyasa yang berdasarkan atas Purana Pura Agung Jagatnatha Singaraja bahwa pembangunan pura Jagarnatha ini berawal dari Pesamuan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pusat bersama dengan para sulinggih se-Bali yang bertempat di Denpasar pada tahun 1970, yang memutuskan bahwa di setiap Kabupaten agar didirikan Pura Jagatnatha sebagai parhyangan jagat Kabupaten sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan umat Hindu serta meningkatkan Sradha dan bhakti umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Selain itu disebutkan juga dalam lontar Sundari Gama yang berisi pewarah-warah Hyang Widhi kepada Purohita atau Bhagawanta (orang suci) agar menyampaikan pesan Hyang Widhi kepada pemegang kekuasaan tertinggi agar melaksanakan widhi widhana pada hari-hari suci, maupun pada hari raya bersama-sama dengan bawahannya dan uamat sedharma demi terwujudnya kesejahteraan jagat raya dengan segala isinya.
Hasil keputusan PHDI pusat ditindaklanjuti oleh Gubernur propinsi Bali Ida Bagus Mantra berupa surat edaran kepada para Bupati se-Bali agar mewujudkan hasil pesamuan tersebut dengan membangun pura Jagarnatha di Ibukota masing-masing Kabupaten. Ketut Ginantra yang menjabat sebagai Bupati Buleleng menindaklanjuti surat edaran Gubernur Bali, yang selanjutnya mengundang manggala PHDI Kabupaten Buleleng, Kepala Kantor Agama Kabupaten Buleleng, Kasi Bimas Hindu Budha, Instansi Pemerintah terkait, para Camat se-Kabupaten Buleleng, dan Desa Adat Buleleng dalam pesamuan yang dilaksanakan oleh Bupati tanggal 4 Mei 1989 di Wantilan Praja Winangun Kantor Bupati Buleleng. Dalam pesamuan tersebut memutuskan untuk membangun pura Jagatnatha dan selanjutnya dibentuklah panitia pembangunan dengan ketua umumnya  Sekwilda. Kabupaten Buleleng Ida Bagus Indugosa.
Pada awalnya, pembangunan pura Jagatnatha direncanakan di SKKA (sekarang lokasi Gedung Laksi Graha) dengan pertimbangan dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Buleleng, namun lokasi tersebut kurang tepat sebagai tempat suci karena bersebelahan dengan makam Pahlawan Surastana. Kemudian dicari tempat lain yakni Lapangan Kolonel Wisnu di lokasi Pura Jagatnatha sekarang berada. Dasar pertimbangan dipilihnya lokasi tersebut adalah lokasi tersebut sesuai dengan dengan Aji Kalpa Sastra dan Aji Silpa Sastra (Purana Lan Awig-Awig Pura Jagatnatha Singaraja), yaitu: lokasinya lapang dan luas, dekat dengan perempatan sebagai simbol Catuspata, dekat dengan Toya mumbul (mata air), dan menurut orang suci tanah tersebut memiliki bau atau aroma yang wangi.
Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja merupakan sthana Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa Jagatnatha. Diambil dari kitab Astadasaparva dalam Itihasa Mahabharata, bangunan Padmasana merupakan inti dari sebuah pura, dimana dalam pura yang dibangun wajib memiliki bangunan yang disebut dengan Padmasana, begitu juga didalam Pura Jagatnatha Singaraja, bangunan yang berdiri megah disebelah timur Utama mandala, disebut Padmasana Agung merupakan bangunan yang menjadi inti dari Pura Jagatnatha Singaraja.

2.                Struktur Bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja
Berdasarkan identifikasi oleh Jero Mangku Alitan Wayan Sugiartha pada bagian dasar atau tepas Padmasana Agung pura Jagatnatha, terdapat ukiran atau bentuk kura-kura/empas yang disebut dengan bedawangnala yang dibelit oleh seekor naga, yaitu: Naga Basuki. Naga tersebut membelit antara empas dan dasar bangunan. Kemudian pada bagian dasar/tepas ini terdapat ukiran berbentuk bunga teratai dan karang gajah (asti). Diatas Naga Basuki terdapat ukiran naga berwarna hitam yang disebut Naga Anantabhoga. Dan bagian puncak seharusnya terdapat ukiran Naga Taksaka, namun yang terdapat dalam Padmasana Agung Pura Jagatnatha tidak memakai Naga Taksaka melainkan hanya memakai bentuk kursi atau singhasana, yang pada bagian dinding belakang singhasana terdapat ukiran Acintya yang merupakan lambang Ida Sang Hyang Widhi.
Pada bagian badan atau tengah bangunan padmasana terdapat berupa ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti/gajah, dan burung garuda. Pada bagian atas atau sari terdapat singhasana seperti kursi yang terbuat dari paras yang di ukir sesuai dengan bentuknya. Pada bagian belakang terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Açintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol Sang Hyang Widhi. Lukisan tersebut menggambarkan tarian dewa Çiwa, yaitu Çivanataraja dalam menciptakan alam semesta.
3.                Makna Masing-Masing Simbol dari Bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha
         Singaraja

Seperti apa yang sudah dijelaskan diatas, bangunan padmasana terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian dasar, tengah dan bagian puncak. Berikut akan diuraikan makna simbolis yang terkandung dari masing-masing simbol pada bagian-bagian padmasana tersebut.
a.              Bedawangnala
Didalam karya arsitektur bahwa bedawang dilukiskan sebagai penyu atau kura-kura/empas raksasa yang menyemburkan api di bagian kepalanya. Kata Nala berasal dari bahasa sansekerta anala yang berarti api. Didalam lontar Adiparva, Brahmanda purana, dan Agastya Parva bedawangnala dilukiskan sebagai bedawang api yang berkepala kuda.
Dalam bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja, Bedawangnala dilukiskan dengan kura-kura yang dibelit oleh seekor naga, yaitu naga Basuki. Bedawangnala dalam bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja merupakan penggambaran pemutaran gunung Mandaragiri. Hal tersebut dapat terlihat pada Purana Pura Agung Jagatnatha Singaraja yang berbunyi
Indik wawangunan ring uttama mandala inggih punika: 1. Wangunan Padmasana Agung sane tegeh nyane plekutus meter (astadasaparva) linggih sang Hyang Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, maka prabhawan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Ngamel kerahajengan Jagat (Jagatnatha). Wangunan padmasana puniki kasengker antuk tembok panyengker kajangkepin antuk pamedal nyatur maka prabhawan ida Sang Hyang widhi makadi pangider Bhuwana (astadikpalaka, utawi asta dewata). Punika sami kasinahang ring bucun dasar babaturan padmasana  miwah pamedak nyatur desa sane makweh ipun akutus. Pamedal punika kajangkepin antuk kreteg anggen ngaranjing ke uttamaning uttama mandala, saantukan babaturan punika kaiterin antuk talaga (nganutin tattwa girimandara prawartana)”.
Bedawangnala dalam bahasa jawa kuna, berasal dari kata “Bheda” yang artinya lain, kelompok, selisih. Wang artinya peluang atau kesempatan, dan nala artinya api. Jadi bhedawangnala adalah suatu kelompok yang meluangkan adanya api. Api yang dimaksud disini bisa berarti yang sebenarnya, yaitu sebagai magma inti bumi, dapat juga diartikan sebagai makna simbolis yaitu energi kekuatan hidup. Karena letaknya dibawah bangunan, maka bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu utnuk dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia, yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.
b.             Naga
Pada Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja, naga terlihat membelit kura-kura (bedawangnala). Berdasarkan narasumber Jero mangku alitan Wayan Sugiartha, naga tersebut adalah naga Basuki. Yang merupakan symbol tanah yang melapisi panas bumi.
Didalam mitologi Çivagama demikian pula dalam Çri Purana Tattwa disebutkan bahwa setelah bumi diciptakan oleh Bhatari Uma dan Dewa Siva, lengkap dengan isinya, maka suatu ketika terjadilah bencana, tumbuhan tidak menjadi, air tidak berkhasiat, serta udara menimbulkan penyakit, maka berbelaskasihanlah Sang Hyang Trumurti sehingga beliau turun ke dunia untuk membantu manusia dari penderitaan tersebut. Setelah didunia, masuklah Dewa Brahma ke dalam tanah mengambil wujud Sang Hyang Anantabhoga, Dewa Visnu terjun ke air dan jadilah beliau sebagai Sang Hyang Naga Basuki, dan Dewa Iswara (Çiwa) melayang diudara menjadi Naga Taksaka.
Mengambil makna kias dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bedawangnala atau magma itu dibungkus oleh tanah/kulit bumi (naga Anantabhoga, oleh naga Basuki (samudra dan sungai-sungainya), dan dilindungi oleh naga Taksaka (lapisan Udara/atmosfer). Jadi, magma, tanah, air, dan udara itu dilukiskan dengan bedawangnala dan naga yang menjadi satu kesatuan. Di atas bumi dan atmosfer inilah baru adanya kehidupan dan para dewa bertahta, ada yang kiblat timur, utara, selatan dan barat, inilah yang dilukiskan dengan Caturlokapala, lukisan segi empat atau singhasana pada bagian atas Padmasana, dan di puncaknya adalah Ida Sang Hyang widhi Wasa.
c.              Burung Garuda
Garuda dalam posisi terbang di belakang Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja merupakan simbol manusia yang menginginkan kebebasan melalui pelespasan ikatan duniawi. Garuda adalah simbol dari pembebasan terhadap perbudakan benda-benda duniawi. Didalam lontar Adi Parva yang menceritakan tentang usaha sang garuda untuk membantu ibunya Sang Winata yang menjadi budak sang Kadru untuk menjaga dan mengantarkan anak-anaknya sebanyak seribu ular, karena sang Winata kalah taruhan melawan sang Kadru menebak rupa warna kuda Ucchaisrawa. Untuk membebaskan perbudakan tersebut, maka garuda diminta untuk mencari tirta amrta di surge untuk anak-anak ular tersebut. Dewa Visnu memberikan tirta tersebut asalkan garuda bersedia menjadi kendaraan Dewa Visnu. Garuda menyetujui dan membawa tirta tersebut kepada anak-anak ular.
d.             Ukiran Açintya
Keterbatasan pikiran manusia dalam menjangkau Tuhan, menjadikan atau menimbulkan upaya atau usaha manusia untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada sang pencipta. Berbagai hal dilakukan untuk membawa pikiran agar terfokus dan mam,pu membayangkan keberadaan Tuhan. Seperti misalnya menggunakan gambar sebagai media, menggambarkan wujud Tuhan ibarat seperti wujud manusia yang lengkap dengan atribut-atributNya.
Keberadaan tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia itu disebut dengan istilah Nirgunabrahman yang artinya keberadaan Tuhan tanpa wujud tidak dapat dibayangkan dan dijangkau sama sekali oleh pikiran manusia, dalam keadaan seperti itu, Tuhan bersifat hampa atau kosong sedangkan yang memenuhi segalanya adalah esensi ketuhanan. Untuk membawa Tuhan masuk ke dalam pikiran manusia (Sagunabrhaman) maka dibuatlah simbol berupa gambar atau bentuk patung. Gambaran Tuhan yang tidak terjangkau sama sekali oleh pikiran manusia itu disimbolkan dengan Acintya, a berarti tidak, dan cintya berarti pikiran. Maka Acintya adalah keberadaan Tuhan yang tidak dapat dipikirkan.

Pada bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha, yaitu tepat pada puncak bangunan di bagian Singhasana terdapat lukisan Acintya, lukisan itu merupakan simbol dari keberadaan Tuhan yang utama, tanpa bisa dibayangkan sama sekali. Maka, simbol Acintya tersebut adalah simbolis dari Tuhan/ Sang Hyang Widhi yang menjadi sumber segalanya dan menempati tempat paling utama/tinggi.
e.              Hiasan dan Ornament Lainnya pada Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja

Pada bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja, terdapat beberapa hiasan-hiasan yang melengkapi bangunan suci tersebut. Namun bukan berarti hiasan dan ornament yang terdapat pada bangunan suci Padmasana itu hanya berfungsi sebagai penambah daya Tarik atau sebagai daya hias saja, melainkan juga menyimpan makna. Segala bentuk hiasan, seperti Karang gajah/Asti, Karang goak, Simbar, dan yang lainnya itu melukiskan keaneka ragamanan kehidupan yang ada di dunia ini. Ketika dunia ini diciptakan lengkap dengan isinya, maka Tuhan lebih melengkapinya dengan segala pernak pernik yang ada. Mulai dari kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, segala bhuta dan bhuti, termasuk pula para Dewa yang merupakan manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.