Wednesday 13 February 2013

Intisari Bhagawad Gita

Sobat Hindu yang budiman, seperti yang saudara ketahui tentang banyaknya versi kebenaran yang ada membuat bingung para pembaca, bahkan terkadang perbedaan membuat suatu permasalahan yang semestinya tidak terjadi. ajaran agama Hindu yang tertuang dalam bhagawad Gita dipercaya mampu menetralisir perbedaan-perbedaan yang ada. sehingga kami berharap permasalahn dimasyarakat bisa berkurang dengan adanya penyebaran ajaran melalui situs ini. Intisari Bhagawad Gita bisa saudara lihat dan Download disini. semoga dapat bermanfaat bagi saudara...!
 

Sunday 3 February 2013

Ritual Unik Masyarakat Depeha


Upacara Nampah Batu di Desa Depeha Kecamatan Kubutambahan.
 
A.    Monografi Desa Depaha
Penamaan Desa Depeha diambil dari kata dipa yang artinya sinar. Diceritakan masyarakat desa kalih likur pindah ke suatu tempat dengan mengikuti sebuah sinar yang berasal dari Pura Dalem purwa. Selain itu, kata dipa,  juga diambil untuk mengenang salah satu raja Bali yang bernama Suradipa. Kala itu raja Suradipa bertapa di puncak Bukit Sinunggal sampai ajak menjemput. Untuk mengenang beliau, desa/kerajaan Indrapura diberi nama Desa/Kerajaan Dipa menjadi Depaa dan sekarang menjadi Depeha.
Kesenian yang ada di Desa Depeha yang dituturkan oleh para informan bahwa Desa Depaha memiliki kesenian-kesenian sacral dan gamelan yang dipakai untuk mengiringi upacara/ritual keagamaan, seperti misalnya tari Gambuh, Tari Sanghyang, Tari Baris Gede, tari Baris Tamiyang, Baris Jojor, Baris Dadap, Baris Omang, Tari Leko, dan tari Gandrung. Desa Depeha merupakan desa yang terdiri dari perkumpulan kerama Bali yang dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya berdasarkan agama Hindu. Pelaksanaan agama Hindu dilakukan berdasarkan tata aturan adat, sima dresta, desa kala patra, desa mawecara. Semuanya itu dilandasi oleh tiga kerangkan agama hindu, yaitu: filsafat, etika, dan upacara yang implementasinya terlihat dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, yaitu; Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Kegiatan pakraman di Desa Depeha dipimpin oleh Kelian Desa Adat dan dibantu oleh prajuru Desa yang lain, seperti petajuh (wakil), penyarikan (juru tulis), petengen (bendahara), dan kelian tempek yang dibantu oleh kasinoman (juru arah), sedangkan dalam pelaksanaan upacara ritual dipimpin oleh penghulu adat. Secara terstruktur para penghulu desa adat disebut Dulu Desa (Hulu Desa). Yang berjumlah 22 orang yang disebut Desa Kalih Likur, Desa Kalih Likur itulah sebagai pemimpin kegiatan upacara yadnya di Desa Depeha.
Dalam pelaksanaan upacara yadnya, umat Hindu di Desa Depeha percaya terhadap satu Tuhan dalam tiga perwujudanNya, yaitu; Brahma (Pura Desa), Visnu (Pura Puseh), Siva (Pura Dalem). Disamping itu, masyarakat juga mempercayai adanya kekuatan-kekuatan gaib yang ikut menjaga kelestarian desa mereka. Mereka percaya dengan adanya leluhur, babi duwe, dewi Danu, sehingga dari kepercayaannya itu dibuatkanlah tempat untuk persembahan, selain Pura-pua yang ada di Desa Depeha seperti  Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, terdapat juga pura-pura lain seperti Pura Kawitan, Pura Tirta Maji, Pura Banua (Sang Kumpi), Pura Sang jero, Pura Bukit Tunggal, Pura Mas. Selain itu, terdapat juga pura-pura yang dipakai memuja dewa-dewi, seperti Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kemakmuran. Pura-pura tersebut adalah Pura Subak Abian, Pura Tumpuk sari, Pura Tumpuk Kelod, Pura Sanglung, Pura Beji, Pura Batungadeg, Pura Madya, dan Pura Tamansari.
 
B.     Sejarah Upacara Nampah Batu
Belum ditemukan catatan atau sumber tertulis yang memberikan petunjuk kapan masyarakat Desa Depaha pertama kali menyelenggarakan upacara Nampah Batu. Tradisi Upcara Nampah Batu telah dilaksanakan secraa turun temurun oleh masyarakat Desa Depaha yang dirangkaikan dengan upacara pujawali di Pura Puseh. Pujawali di Pura Puseh Desa Depaha jatuh pada setiap Purnama sasih Karo. Walaupun upacara di Pura Puseh telah ditetapkan setiap Sasih Karo dalam kenyataan pelaksanaan upacara Nampah batu tidak mesti dilaksnakan setiap tahun. Pelaksanaan upacara Nampah Batu ditentukan oleh keputusan penghulu Desa berdasarkan perhitungan penanggalan Bali sehingga upacara nampah Batu bisa berlangsung setahu, dua tahun bahkan bisa lima tahun sekali. Pada hari purwani, sehari sebelum upacara pujawali di pura Puseh, oleh masyarakat Desa depaha disebut Nyumun sari, dilaksanakan upacara Nampah Batu atau Nampah Duwe. Upacara tersebut dirangkaikan dengan acara menek medesa, artinya warga masyarakat Desa Depaha yang gtelah melangsungkan upacara perkawinan yang dalam Agama Hindu disebut telah melaksanakan kehidupan Grhastha asmara wajib ikut melaksanakan upacara Nampah Batu Duwe. Walaupun belum ditemukan bukti tertulis tentang kapan pelaksanaan ritual Nampah Batu mulai dilakuan oleh warga Desa Depaha, tetapi tradisi lisan (oral history) yang ada dalam masyarakat memberikan petujuk untuk mengetahui keberadaan upacara Nampah Batu sebagai salah satu tradisi unik yang masih dipertahankan sampai saat ini.
Pelaksanaan upacara Nampah Batu memiliki latar belakang etnografi yang berkaitan dengan cerita yang bersifat supernatural yang menceritakan hubungan antara Dewi danu yang bersthana di Pura ulun Danu Batur di Kintamani dengan Ayu Manik Galih yang dipuja oleh masyarakat Desa Depeha sebagai Dewi Kesuburan. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, karena saying Dewi Danu terhadap masyarakat Depeha muncul ide Dewi danu memberikan sumber mata air kepada masyarakat Desa Depeha agar di Desa Depeha memiliki sawah untuk menunjang kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan keinginan Dewi Danu diutuslah seorang prajurit pergi ke Desa Depeha membawa sibuh yang berisi air yang selanjutkan akan dituangkan disalah satu tempat di Desa Depeha sebagai sumber air. Utusan Dewi dani mempunyai kemampuan yang tinggi, sehingga muncul ide merubah dirinya menjadi babi, hal ini dilakukan agar perjalanan yang cukup jauh dari Desa Batur ke Desa Depeha bisa dilakukan dengan cepat mengingat kondisi wilayah sepanjang perjalanan merupakan kawasan hutan lebat dengan semak belukar yang menyulitklan perlajanan manusia. Setelah utusan sampai di Desa Depeha, babi itu langsung menghadap kepada Ratu Ayu Manik Galih dan menyerahkan Sibuh berisi air itu kepadaNya. Setelah sibuh diterima dan diamati ternyata didalam sibuh berisi air itu terdapat lintah, Ratu Ayu Manik Galih sangat terkejut, dan disuruhlah babi itu membuang jauh-jauh sibuh berisi air itu di wilayah pantai. Dengan rasa kecewa dan sedih, babi itu menuruti perintah Ratu Ayu Manik Galih dan pergi dari Desa Depeha menuju arah utara dan sampai disuatu tempat dekat pantai (Desa Sanih). Di daerah dekat pantai itulah sibuh itu dibuang, dan secara tiba-tiba ditempat sibuh dibuang muncul sumber air yang sangat jernih (yeh mumbul). Sumber air yang masih dapat disaksikan sampai sekarang dengan nama Air Sanih.
Maksud baik dari utusan Dewi Danu ternyata mendapat perlakuan yang tidak baik dan merasa sangat kecewa Karena telah diperlakukan tidak adil. Karena kesal babi utusan itu mengeluarkan kutukan agar sutu saat nanti apabila dilaksanakan upacara yang dihaturkan kepada Ratu Ayu Manik Galih supaya babi yang dipergunakan untuk sarana upacara terbut berubah menjadi batu. Selain itu, ditegaskan pula apabila masyarakat Desa Depaha melaksanakan suatu upacara dan melaksanakan upacara melasti agar nunas tirta ke air Sanih (Yeh Mumbul).
Diceritakan pada suatu hari masyarakat desa Depeha sedang mempersiapkan upacara di Pura Puseh. Rangkaian upacara tersebut diawali dengan upacara menghaturkan puja wali ke hadapan Ratu Ayu Manik Galih. Ratu Ayu Manik GAlih merupakan sakti Dewa Visnu dalam manifestasi beliau sebagai Dewi kesuburan. Puajawali yang dihaturkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih dilaksanakan pada hari purwani purnama karo, sehari menjelang hari purnama sasih karo yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Nyumunsari. Sebelum upacara masyarakat mempersiapkan segala persiapan dan perlengkapan upacara, salah satunya adalah babi yang akan digunakan untuk perlengkapan upcara. Namun sebelum disembelih, babi tersebut terlepas dan lari menuju lembah dekat Pura Puseh yang dikenal dengan nama yeh kedis (Yeh Kedas). Beberapa orang mengejar babi tersebut, sampai di lembah yeh kedis salah seorang berteriak “nah ne ye celenge….” (nah ini dia babinya), sambil menunjuk salah satu batu hitam besar yang menyerupai babi yang ada di tempat tersebut. Setelah diamati dengan seksama ternyata yang ditunjuk itu adalah batu hitam besar. Akhirnya orang-orang yang mnengejar babi itu memutuskan untuk membagi diri menjadi dua kelompok, untuk mencari kea rah barat dan ke arah timur. Pencarian babi tersebut memberikan nama-nama pada daerah yang dilalui, yaitu: Munduk Ngandang, Ancut, Campuhan, Yeh Alang, Ceregah, Batu Lumbang, Celuk, Bukit Tumpeng, Grombong, Gerembiang, Sanglung, Tumpuk, Taman Sari, Seganti, Peninjauan, Purna, Grembeng, Meringan, Bingin, Yeh Lesung, Tampul, Munduk Tegeh, Prahyangan (Payangan), Batungadeg, Madya, Sianga, Pegubugan, Yeh Pande, dan Soca. Karena terus mencari tetapi tidak menemukan babi yang lepas, akhirnya orang-orang kembali serta mendengarkan sebuah Pawisik (bisikan alam gaib) bahwa babi yang dicari berada dilembah Yeh Kedis berupa batu, masyarakat yang mempersiapkan upacara tersebut sepakat mengganti babi tersebut dengan sebuah batu (Batu Duwe) yang terdapat di lembah Yeh Kedis mengganti babi yang hilang. Selanjutnya batu tersebut digotong beramai-ramai seperti menggotong seekor babi dibawa ke areal jaba tengah Pura Puseh untuk dipotong secara bersama-sama sebagai perlengkapan upacara mengganti babi yang terlepas tersebut sebagai persembahan kepada Ratu Ayu Manik Galih. Dari hal itulah muncul istilah Nampah Batu karena realitasnya yang dipotong oleh masyarakat adalah sebuah batu sebagai symbol dari Bawi Duwe yang keberadaannya diyakini berada di lembah Yeh Kedis. Sebagai ganti daging babi digunakanlah jenis kacang-kacangan dan sayur mayor yang merupakan hasil bumi masyarakat Desa Depeha yang dikenal dengan lelampadan. Lelampadan inilah yang diolah tanpa menggunakan minyak untuk selanjutnya dipersembahkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih dalam manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan.
 
C.     Bentuk Upacara Nampah Batu
Salah satu bentuk upakara yang menonjol dan bahkan selalu dipergunakan dalam kegiatan keagamaan di Bali khususnya agama Hindu adalah banten. Penggunaan sarana banten ini tidak terlepas dari terbatasnya kemampuan manusia, sehingga dalam upaya untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, sarana inilah yang dipergunakan sebagai alat untuk konsentrasi sehingga tujuan bisa tercapai.
Banten merupakan sarana persembahan yang sekaligus sebagai perwujudan simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan manifestasi-Nya. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dari sarana tertentu antara lain: bunga, buah-buahan, daun, makanan, jajan, dan lainnya, disamping sarana yang sangat penting lainnya seperti air dan api (Titib,2003:134). Dengan demikian banten adalah simbol yang sangat universal sifatnya yaitu sebagai simbol dari pikiran manusia untuk disampaikan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai simbol dari alam semesta beserta isinya, dan simbol penyucian atau kesucian hati.
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam banten secara jelas tertuang dalam kitab Bhagawadgita, adyaya IX, sloka 26 yaitu:
patram puspam phalam toyam
ya me bhaktya prayacchati,
tad aham bhaktyu pahrtam
asnami prayatatmanah.
Terjemahannya:
siapapun yang sujud kepada-Ku dengan mempersembahkan
setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan,
atau seteguk air, Aku terima sebagai bhakti
persembahan dari orang yang berbakti suci. (Pudja,1999:239)
Dari uraian sloka Bhagawadgita diatas sangat jelas disebutkan bahwa bahan-bahan yang menjadi pokok persembahan atau banten adalah daun, bunga, buah, dan air yang mana di Bali bahan tersebut akan ditata dan dirangkai sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan yang indah.
Bentuk upakara yang biasa dipergunakan di Desa Pakraman Depeha dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan pemikiran serta kesadaran masyarakat yang tidak hanya menerima begitu saja apa yang telah diwariskan (Kuna Drsta), tetapi berupaya mencari perbandingan dengan konteks susastra agama yang berlaku (Sastra Drsta).
Pelaksanaan  upacara agama selalu menggunakan sarana atau peralatan yang disebut dengan upakara. Upakara merupakan alat untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan manifestasi-Nya. Ada beberapa sarana dan bahan yang dipergunakan untuk melengkapai jalannya pelaksanaan upacara yaitu:
1.        Sebuah batu (duwe) yaitu sebuah batu yang dijadikan simbol seekor babi.
2.        Tempayan, pisau, kain putih yang digunakan untuk prosesi memotong Duwe.
3.        Desa Anyar (pasangan baru menikah) yang bertugas melaksanakan prosesi nampah (memotong babi).
4.        Tetabuhan untuk mengiringi Desa Anyar menari.
5.        Penari yang terdiri dari seluruh Desa Anyar Perempuan menarikan tarian rejang dewa, dan Desa Anyar Laki-laki menarikan tarian baris.
Seluruh sarana upacara tersebut sangatlah penting karena tanpa sarana-sarana tersebut maka pelaksanaan upacara Nampah Batu tidak bisa dilaksanakan.
Ada beberapa bentuk persembahan yang digunakan pada upacara Upacara Nampah Batu di Pura Puseh, Desa Pakraman Depeha diantaranya berdasarkan hasil pengamatan serta hasil wawancara dengan beberapa tukang banten atau Sarati di Desa Pakraman Depeha yaitu sorohan banten pangresikan, banten pejati, jerimpen,daksina lingga, canang pemendak dan segehan aseet dan sorohan banten ayaban.
D.    Fungsi Upacara Nampah Batu
Sesungguhnya semua aktivitas keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu yang merupakan prakteknya ajaran agama Hindu sesederhana dan semegah apapun bentuknya dibalik totalitas nilai-nilai religius intinya mengandung nilai-nilai seni (estetika), sebagai bentuk ekspresi dari umat dalam melaksanakan ritual dalam upacara. Terlihat jelas nilai seni itu terungkap dalam upacara Nampah Batu yang dilaksanakan di Pura puseh, Desa Pakraman Depeha seperti banten yang digunakan dalam upacaranya merupakan hasil cipta, rasa, serta karsa suci mereka yang memiliki nilai tak terhingga. Yang dalam pengerjaannya tetap mengikuti pola aturan tertentu mulai dari jejahitannya, buah, jajan, nasi, rerasmen, sampian atau reringgitannya sehingga tidak terlepas dari nilai etika dan moral.
Selain itu nilai seni tercermin pula pada  seni tetabuhan, seni kidung, seni tari dan yang lainnya termasuk cara berpakaian umat pun adalah ungkapan sebuah rasa seni. Dapat pula dilihat saat proses ngayah menari untuk Desa Anyar baik laki-laki maupun perempuan secara bersama-sama mereka menari. Masyarakat selalu berupaya untuk memberikan suatu persembahan yang terbaik.
Menurut jero mangku pengemong pura dijelaskan bahwa upakara atau banten juga berfungsi sebagai sarana penyucian atau pembersihan. Dalam Upacara Nyumun Sari dalam piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Depeha mempergunakan beberapa jenis banten yang termasuk dalam katagori sebagai sarana penyucian seperti: 1)  Banten yang ditujukan pada para bhuta serta  hal-hal yang bersifat duniawi lainnya yaitu banten biyakala, banten durmanggala, penyucian dalam hal ini adalah merubah hal-hal yang bersifat kurang baik agar menjadi penolong serta berguna bagi yang melaksanakan yadnya. 2)  Banten penyucian  yang ditujukan kepada para Dewa-Dewi serta hal-hal yang bersifat bhatiniah seperti banten prayascita, Banten Penyeneng, banten panglukatan/penyucian dalam hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan upacara dapat memancarkan sinar suci, sinar kebijaksanaan yang berguna bagi yang melaksanakan upacara serta dapat diterima oleh Tuhan. 3)  Ayam putih yang dipersembahkan saat mapiuning di Pura Desa  oleh Desa Anyar merupakan simbolis kesucian pikiran dan hati sebagai awal  akan memulai bahtera rumah tangga. Sehingga apa yang akan menjadi tujuan kedua pasangan tercapai.
E.     Makna Upacara Nampah Batu
1.      Makna Simbolik
Secara implisit, banten yang digunakan  dalam Upacara Nampah Batu sangat sarat mengandung nilai-nilai simbolik hal itu sangat relepan dengan teori simbolik Kant yang menyatakan bahwa dimensi simbol merupakan penggambaran tidak langsung analog. Bentuk banten Upacara Nampah Batu yang digunakan sebagai sarana pelengkap upacara piodalan di Pura Puseh, Desa Pakraman Depeha merupakan penggambaran secara tidak langsung dari yang abstrak menurut konsep sastra yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan upacara tersebut. Kemampuan manusia sangat terbatas untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak sehingga perlu diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol untuk dapat menjangkau yang bersifat abstrak itu. Eksistensi banten pada Upacara Nampah Batu dalam piodalan di Pura Puseh sesungguhnya merupakan instrumen untuk menghubungkan dunia material dengan dunia spiritual.
2.      Makna Solidaritas
Dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, interaksi dengan orang lain sangatlah penting, karena sebagai mahluk sosial manusia tidak bisa hidup menyendiri. Interaksi sosial inilah yang mendasari tumbuhnya rasa solidaritas dalam masyarakat. Salah satu wujud solidaritas dalam masyarakat khususnya di Desa Pakraman Depeha adalah gotong-royong. Inilah wujud solidaritas yang memiliki nilai budaya warisan leluhur. Gotong-royong ini merupakan bentuk kerjasama yang dilandasi oleh rasa saling cinta kasih, tenggang rasa, saling asah-asih-asuh, saling menghargai, rasa saling memiliki, dan sebagainya yang ditopang oleh semangat kebersamaan serta merupakan perwujudan dari konsep ajaran Agama yaitu Tat Wam Asi (itu, Ia adalah kamu),  yang merupakan adat istiadat yang kuat dalam hal hubungan antara warga yang satu dengan warga yang lain didasarkan atas moral yang telah melembaga dalam diri individu.
3.      Makna Etika dan Budaya
Persembahan yang dilakukan oleh umat Hindu khususnya yang dituangkan melalui ajaran Panca Yadnya memiliki nilai-nilai moral dan spiritual yang sangat tinggi. Moral merupakan seperangkat aturan tingkah laku yang mengacu pada kaedah-kaedah yang sesuai dengan ajaran agama. Dengan ajaran moral, maka manusia dihapkan mampu untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar yang sesuai dengan ajaran agama.