Tuesday 3 September 2013

Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja



PADMASANA AGUNG PURA JAGATNATHA SINGARAJA
Oleh:
Gede Nova Heri Pratama


1.                Latar Belakang Pembangunan Pelinggih Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja

Pembangunan Pelinggih Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja tidak akan bisa terlepas dari sejarah atau latar belakang dibangunnya Pura Jagatnatha Singaraja, sebab bangunan Padmasana merupakan inti dari keberadaan sebuah pura yang dibangun. Akan terdapat banyak persamaan latar belakang pembangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha dan pembangunan Pura Agung Jagatnatha Singaraja. Padmasana Agung Pura Jagatnatha merupakan pelinggih yang berada di areal Pura Jagatnatha, yaitu Uttamaning Uttama Mandala (Purana Lan Awig-Awig Pura Agung Jagatnatha, 1996). Menurut penuturan narasumber Jero Mangku Gde I Wayan Suyasa yang berdasarkan atas Purana Pura Agung Jagatnatha Singaraja bahwa pembangunan pura Jagarnatha ini berawal dari Pesamuan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pusat bersama dengan para sulinggih se-Bali yang bertempat di Denpasar pada tahun 1970, yang memutuskan bahwa di setiap Kabupaten agar didirikan Pura Jagatnatha sebagai parhyangan jagat Kabupaten sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan umat Hindu serta meningkatkan Sradha dan bhakti umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Selain itu disebutkan juga dalam lontar Sundari Gama yang berisi pewarah-warah Hyang Widhi kepada Purohita atau Bhagawanta (orang suci) agar menyampaikan pesan Hyang Widhi kepada pemegang kekuasaan tertinggi agar melaksanakan widhi widhana pada hari-hari suci, maupun pada hari raya bersama-sama dengan bawahannya dan uamat sedharma demi terwujudnya kesejahteraan jagat raya dengan segala isinya.
Hasil keputusan PHDI pusat ditindaklanjuti oleh Gubernur propinsi Bali Ida Bagus Mantra berupa surat edaran kepada para Bupati se-Bali agar mewujudkan hasil pesamuan tersebut dengan membangun pura Jagarnatha di Ibukota masing-masing Kabupaten. Ketut Ginantra yang menjabat sebagai Bupati Buleleng menindaklanjuti surat edaran Gubernur Bali, yang selanjutnya mengundang manggala PHDI Kabupaten Buleleng, Kepala Kantor Agama Kabupaten Buleleng, Kasi Bimas Hindu Budha, Instansi Pemerintah terkait, para Camat se-Kabupaten Buleleng, dan Desa Adat Buleleng dalam pesamuan yang dilaksanakan oleh Bupati tanggal 4 Mei 1989 di Wantilan Praja Winangun Kantor Bupati Buleleng. Dalam pesamuan tersebut memutuskan untuk membangun pura Jagatnatha dan selanjutnya dibentuklah panitia pembangunan dengan ketua umumnya  Sekwilda. Kabupaten Buleleng Ida Bagus Indugosa.
Pada awalnya, pembangunan pura Jagatnatha direncanakan di SKKA (sekarang lokasi Gedung Laksi Graha) dengan pertimbangan dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Buleleng, namun lokasi tersebut kurang tepat sebagai tempat suci karena bersebelahan dengan makam Pahlawan Surastana. Kemudian dicari tempat lain yakni Lapangan Kolonel Wisnu di lokasi Pura Jagatnatha sekarang berada. Dasar pertimbangan dipilihnya lokasi tersebut adalah lokasi tersebut sesuai dengan dengan Aji Kalpa Sastra dan Aji Silpa Sastra (Purana Lan Awig-Awig Pura Jagatnatha Singaraja), yaitu: lokasinya lapang dan luas, dekat dengan perempatan sebagai simbol Catuspata, dekat dengan Toya mumbul (mata air), dan menurut orang suci tanah tersebut memiliki bau atau aroma yang wangi.
Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja merupakan sthana Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa Jagatnatha. Diambil dari kitab Astadasaparva dalam Itihasa Mahabharata, bangunan Padmasana merupakan inti dari sebuah pura, dimana dalam pura yang dibangun wajib memiliki bangunan yang disebut dengan Padmasana, begitu juga didalam Pura Jagatnatha Singaraja, bangunan yang berdiri megah disebelah timur Utama mandala, disebut Padmasana Agung merupakan bangunan yang menjadi inti dari Pura Jagatnatha Singaraja.

2.                Struktur Bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja
Berdasarkan identifikasi oleh Jero Mangku Alitan Wayan Sugiartha pada bagian dasar atau tepas Padmasana Agung pura Jagatnatha, terdapat ukiran atau bentuk kura-kura/empas yang disebut dengan bedawangnala yang dibelit oleh seekor naga, yaitu: Naga Basuki. Naga tersebut membelit antara empas dan dasar bangunan. Kemudian pada bagian dasar/tepas ini terdapat ukiran berbentuk bunga teratai dan karang gajah (asti). Diatas Naga Basuki terdapat ukiran naga berwarna hitam yang disebut Naga Anantabhoga. Dan bagian puncak seharusnya terdapat ukiran Naga Taksaka, namun yang terdapat dalam Padmasana Agung Pura Jagatnatha tidak memakai Naga Taksaka melainkan hanya memakai bentuk kursi atau singhasana, yang pada bagian dinding belakang singhasana terdapat ukiran Acintya yang merupakan lambang Ida Sang Hyang Widhi.
Pada bagian badan atau tengah bangunan padmasana terdapat berupa ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti/gajah, dan burung garuda. Pada bagian atas atau sari terdapat singhasana seperti kursi yang terbuat dari paras yang di ukir sesuai dengan bentuknya. Pada bagian belakang terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Açintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol Sang Hyang Widhi. Lukisan tersebut menggambarkan tarian dewa Çiwa, yaitu Çivanataraja dalam menciptakan alam semesta.
3.                Makna Masing-Masing Simbol dari Bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha
         Singaraja

Seperti apa yang sudah dijelaskan diatas, bangunan padmasana terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian dasar, tengah dan bagian puncak. Berikut akan diuraikan makna simbolis yang terkandung dari masing-masing simbol pada bagian-bagian padmasana tersebut.
a.              Bedawangnala
Didalam karya arsitektur bahwa bedawang dilukiskan sebagai penyu atau kura-kura/empas raksasa yang menyemburkan api di bagian kepalanya. Kata Nala berasal dari bahasa sansekerta anala yang berarti api. Didalam lontar Adiparva, Brahmanda purana, dan Agastya Parva bedawangnala dilukiskan sebagai bedawang api yang berkepala kuda.
Dalam bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja, Bedawangnala dilukiskan dengan kura-kura yang dibelit oleh seekor naga, yaitu naga Basuki. Bedawangnala dalam bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja merupakan penggambaran pemutaran gunung Mandaragiri. Hal tersebut dapat terlihat pada Purana Pura Agung Jagatnatha Singaraja yang berbunyi
Indik wawangunan ring uttama mandala inggih punika: 1. Wangunan Padmasana Agung sane tegeh nyane plekutus meter (astadasaparva) linggih sang Hyang Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, maka prabhawan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Ngamel kerahajengan Jagat (Jagatnatha). Wangunan padmasana puniki kasengker antuk tembok panyengker kajangkepin antuk pamedal nyatur maka prabhawan ida Sang Hyang widhi makadi pangider Bhuwana (astadikpalaka, utawi asta dewata). Punika sami kasinahang ring bucun dasar babaturan padmasana  miwah pamedak nyatur desa sane makweh ipun akutus. Pamedal punika kajangkepin antuk kreteg anggen ngaranjing ke uttamaning uttama mandala, saantukan babaturan punika kaiterin antuk talaga (nganutin tattwa girimandara prawartana)”.
Bedawangnala dalam bahasa jawa kuna, berasal dari kata “Bheda” yang artinya lain, kelompok, selisih. Wang artinya peluang atau kesempatan, dan nala artinya api. Jadi bhedawangnala adalah suatu kelompok yang meluangkan adanya api. Api yang dimaksud disini bisa berarti yang sebenarnya, yaitu sebagai magma inti bumi, dapat juga diartikan sebagai makna simbolis yaitu energi kekuatan hidup. Karena letaknya dibawah bangunan, maka bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu utnuk dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia, yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.
b.             Naga
Pada Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja, naga terlihat membelit kura-kura (bedawangnala). Berdasarkan narasumber Jero mangku alitan Wayan Sugiartha, naga tersebut adalah naga Basuki. Yang merupakan symbol tanah yang melapisi panas bumi.
Didalam mitologi Çivagama demikian pula dalam Çri Purana Tattwa disebutkan bahwa setelah bumi diciptakan oleh Bhatari Uma dan Dewa Siva, lengkap dengan isinya, maka suatu ketika terjadilah bencana, tumbuhan tidak menjadi, air tidak berkhasiat, serta udara menimbulkan penyakit, maka berbelaskasihanlah Sang Hyang Trumurti sehingga beliau turun ke dunia untuk membantu manusia dari penderitaan tersebut. Setelah didunia, masuklah Dewa Brahma ke dalam tanah mengambil wujud Sang Hyang Anantabhoga, Dewa Visnu terjun ke air dan jadilah beliau sebagai Sang Hyang Naga Basuki, dan Dewa Iswara (Çiwa) melayang diudara menjadi Naga Taksaka.
Mengambil makna kias dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bedawangnala atau magma itu dibungkus oleh tanah/kulit bumi (naga Anantabhoga, oleh naga Basuki (samudra dan sungai-sungainya), dan dilindungi oleh naga Taksaka (lapisan Udara/atmosfer). Jadi, magma, tanah, air, dan udara itu dilukiskan dengan bedawangnala dan naga yang menjadi satu kesatuan. Di atas bumi dan atmosfer inilah baru adanya kehidupan dan para dewa bertahta, ada yang kiblat timur, utara, selatan dan barat, inilah yang dilukiskan dengan Caturlokapala, lukisan segi empat atau singhasana pada bagian atas Padmasana, dan di puncaknya adalah Ida Sang Hyang widhi Wasa.
c.              Burung Garuda
Garuda dalam posisi terbang di belakang Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja merupakan simbol manusia yang menginginkan kebebasan melalui pelespasan ikatan duniawi. Garuda adalah simbol dari pembebasan terhadap perbudakan benda-benda duniawi. Didalam lontar Adi Parva yang menceritakan tentang usaha sang garuda untuk membantu ibunya Sang Winata yang menjadi budak sang Kadru untuk menjaga dan mengantarkan anak-anaknya sebanyak seribu ular, karena sang Winata kalah taruhan melawan sang Kadru menebak rupa warna kuda Ucchaisrawa. Untuk membebaskan perbudakan tersebut, maka garuda diminta untuk mencari tirta amrta di surge untuk anak-anak ular tersebut. Dewa Visnu memberikan tirta tersebut asalkan garuda bersedia menjadi kendaraan Dewa Visnu. Garuda menyetujui dan membawa tirta tersebut kepada anak-anak ular.
d.             Ukiran Açintya
Keterbatasan pikiran manusia dalam menjangkau Tuhan, menjadikan atau menimbulkan upaya atau usaha manusia untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada sang pencipta. Berbagai hal dilakukan untuk membawa pikiran agar terfokus dan mam,pu membayangkan keberadaan Tuhan. Seperti misalnya menggunakan gambar sebagai media, menggambarkan wujud Tuhan ibarat seperti wujud manusia yang lengkap dengan atribut-atributNya.
Keberadaan tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia itu disebut dengan istilah Nirgunabrahman yang artinya keberadaan Tuhan tanpa wujud tidak dapat dibayangkan dan dijangkau sama sekali oleh pikiran manusia, dalam keadaan seperti itu, Tuhan bersifat hampa atau kosong sedangkan yang memenuhi segalanya adalah esensi ketuhanan. Untuk membawa Tuhan masuk ke dalam pikiran manusia (Sagunabrhaman) maka dibuatlah simbol berupa gambar atau bentuk patung. Gambaran Tuhan yang tidak terjangkau sama sekali oleh pikiran manusia itu disimbolkan dengan Acintya, a berarti tidak, dan cintya berarti pikiran. Maka Acintya adalah keberadaan Tuhan yang tidak dapat dipikirkan.

Pada bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha, yaitu tepat pada puncak bangunan di bagian Singhasana terdapat lukisan Acintya, lukisan itu merupakan simbol dari keberadaan Tuhan yang utama, tanpa bisa dibayangkan sama sekali. Maka, simbol Acintya tersebut adalah simbolis dari Tuhan/ Sang Hyang Widhi yang menjadi sumber segalanya dan menempati tempat paling utama/tinggi.
e.              Hiasan dan Ornament Lainnya pada Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja

Pada bangunan Padmasana Agung Pura Jagatnatha Singaraja, terdapat beberapa hiasan-hiasan yang melengkapi bangunan suci tersebut. Namun bukan berarti hiasan dan ornament yang terdapat pada bangunan suci Padmasana itu hanya berfungsi sebagai penambah daya Tarik atau sebagai daya hias saja, melainkan juga menyimpan makna. Segala bentuk hiasan, seperti Karang gajah/Asti, Karang goak, Simbar, dan yang lainnya itu melukiskan keaneka ragamanan kehidupan yang ada di dunia ini. Ketika dunia ini diciptakan lengkap dengan isinya, maka Tuhan lebih melengkapinya dengan segala pernak pernik yang ada. Mulai dari kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, segala bhuta dan bhuti, termasuk pula para Dewa yang merupakan manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.


Wednesday 13 February 2013

Intisari Bhagawad Gita

Sobat Hindu yang budiman, seperti yang saudara ketahui tentang banyaknya versi kebenaran yang ada membuat bingung para pembaca, bahkan terkadang perbedaan membuat suatu permasalahan yang semestinya tidak terjadi. ajaran agama Hindu yang tertuang dalam bhagawad Gita dipercaya mampu menetralisir perbedaan-perbedaan yang ada. sehingga kami berharap permasalahn dimasyarakat bisa berkurang dengan adanya penyebaran ajaran melalui situs ini. Intisari Bhagawad Gita bisa saudara lihat dan Download disini. semoga dapat bermanfaat bagi saudara...!
 

Sunday 3 February 2013

Ritual Unik Masyarakat Depeha


Upacara Nampah Batu di Desa Depeha Kecamatan Kubutambahan.
 
A.    Monografi Desa Depaha
Penamaan Desa Depeha diambil dari kata dipa yang artinya sinar. Diceritakan masyarakat desa kalih likur pindah ke suatu tempat dengan mengikuti sebuah sinar yang berasal dari Pura Dalem purwa. Selain itu, kata dipa,  juga diambil untuk mengenang salah satu raja Bali yang bernama Suradipa. Kala itu raja Suradipa bertapa di puncak Bukit Sinunggal sampai ajak menjemput. Untuk mengenang beliau, desa/kerajaan Indrapura diberi nama Desa/Kerajaan Dipa menjadi Depaa dan sekarang menjadi Depeha.
Kesenian yang ada di Desa Depeha yang dituturkan oleh para informan bahwa Desa Depaha memiliki kesenian-kesenian sacral dan gamelan yang dipakai untuk mengiringi upacara/ritual keagamaan, seperti misalnya tari Gambuh, Tari Sanghyang, Tari Baris Gede, tari Baris Tamiyang, Baris Jojor, Baris Dadap, Baris Omang, Tari Leko, dan tari Gandrung. Desa Depeha merupakan desa yang terdiri dari perkumpulan kerama Bali yang dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya berdasarkan agama Hindu. Pelaksanaan agama Hindu dilakukan berdasarkan tata aturan adat, sima dresta, desa kala patra, desa mawecara. Semuanya itu dilandasi oleh tiga kerangkan agama hindu, yaitu: filsafat, etika, dan upacara yang implementasinya terlihat dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, yaitu; Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Kegiatan pakraman di Desa Depeha dipimpin oleh Kelian Desa Adat dan dibantu oleh prajuru Desa yang lain, seperti petajuh (wakil), penyarikan (juru tulis), petengen (bendahara), dan kelian tempek yang dibantu oleh kasinoman (juru arah), sedangkan dalam pelaksanaan upacara ritual dipimpin oleh penghulu adat. Secara terstruktur para penghulu desa adat disebut Dulu Desa (Hulu Desa). Yang berjumlah 22 orang yang disebut Desa Kalih Likur, Desa Kalih Likur itulah sebagai pemimpin kegiatan upacara yadnya di Desa Depeha.
Dalam pelaksanaan upacara yadnya, umat Hindu di Desa Depeha percaya terhadap satu Tuhan dalam tiga perwujudanNya, yaitu; Brahma (Pura Desa), Visnu (Pura Puseh), Siva (Pura Dalem). Disamping itu, masyarakat juga mempercayai adanya kekuatan-kekuatan gaib yang ikut menjaga kelestarian desa mereka. Mereka percaya dengan adanya leluhur, babi duwe, dewi Danu, sehingga dari kepercayaannya itu dibuatkanlah tempat untuk persembahan, selain Pura-pua yang ada di Desa Depeha seperti  Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, terdapat juga pura-pura lain seperti Pura Kawitan, Pura Tirta Maji, Pura Banua (Sang Kumpi), Pura Sang jero, Pura Bukit Tunggal, Pura Mas. Selain itu, terdapat juga pura-pura yang dipakai memuja dewa-dewi, seperti Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kemakmuran. Pura-pura tersebut adalah Pura Subak Abian, Pura Tumpuk sari, Pura Tumpuk Kelod, Pura Sanglung, Pura Beji, Pura Batungadeg, Pura Madya, dan Pura Tamansari.
 
B.     Sejarah Upacara Nampah Batu
Belum ditemukan catatan atau sumber tertulis yang memberikan petunjuk kapan masyarakat Desa Depaha pertama kali menyelenggarakan upacara Nampah Batu. Tradisi Upcara Nampah Batu telah dilaksanakan secraa turun temurun oleh masyarakat Desa Depaha yang dirangkaikan dengan upacara pujawali di Pura Puseh. Pujawali di Pura Puseh Desa Depaha jatuh pada setiap Purnama sasih Karo. Walaupun upacara di Pura Puseh telah ditetapkan setiap Sasih Karo dalam kenyataan pelaksanaan upacara Nampah batu tidak mesti dilaksnakan setiap tahun. Pelaksanaan upacara Nampah Batu ditentukan oleh keputusan penghulu Desa berdasarkan perhitungan penanggalan Bali sehingga upacara nampah Batu bisa berlangsung setahu, dua tahun bahkan bisa lima tahun sekali. Pada hari purwani, sehari sebelum upacara pujawali di pura Puseh, oleh masyarakat Desa depaha disebut Nyumun sari, dilaksanakan upacara Nampah Batu atau Nampah Duwe. Upacara tersebut dirangkaikan dengan acara menek medesa, artinya warga masyarakat Desa Depaha yang gtelah melangsungkan upacara perkawinan yang dalam Agama Hindu disebut telah melaksanakan kehidupan Grhastha asmara wajib ikut melaksanakan upacara Nampah Batu Duwe. Walaupun belum ditemukan bukti tertulis tentang kapan pelaksanaan ritual Nampah Batu mulai dilakuan oleh warga Desa Depaha, tetapi tradisi lisan (oral history) yang ada dalam masyarakat memberikan petujuk untuk mengetahui keberadaan upacara Nampah Batu sebagai salah satu tradisi unik yang masih dipertahankan sampai saat ini.
Pelaksanaan upacara Nampah Batu memiliki latar belakang etnografi yang berkaitan dengan cerita yang bersifat supernatural yang menceritakan hubungan antara Dewi danu yang bersthana di Pura ulun Danu Batur di Kintamani dengan Ayu Manik Galih yang dipuja oleh masyarakat Desa Depeha sebagai Dewi Kesuburan. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, karena saying Dewi Danu terhadap masyarakat Depeha muncul ide Dewi danu memberikan sumber mata air kepada masyarakat Desa Depeha agar di Desa Depeha memiliki sawah untuk menunjang kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan keinginan Dewi Danu diutuslah seorang prajurit pergi ke Desa Depeha membawa sibuh yang berisi air yang selanjutkan akan dituangkan disalah satu tempat di Desa Depeha sebagai sumber air. Utusan Dewi dani mempunyai kemampuan yang tinggi, sehingga muncul ide merubah dirinya menjadi babi, hal ini dilakukan agar perjalanan yang cukup jauh dari Desa Batur ke Desa Depeha bisa dilakukan dengan cepat mengingat kondisi wilayah sepanjang perjalanan merupakan kawasan hutan lebat dengan semak belukar yang menyulitklan perlajanan manusia. Setelah utusan sampai di Desa Depeha, babi itu langsung menghadap kepada Ratu Ayu Manik Galih dan menyerahkan Sibuh berisi air itu kepadaNya. Setelah sibuh diterima dan diamati ternyata didalam sibuh berisi air itu terdapat lintah, Ratu Ayu Manik Galih sangat terkejut, dan disuruhlah babi itu membuang jauh-jauh sibuh berisi air itu di wilayah pantai. Dengan rasa kecewa dan sedih, babi itu menuruti perintah Ratu Ayu Manik Galih dan pergi dari Desa Depeha menuju arah utara dan sampai disuatu tempat dekat pantai (Desa Sanih). Di daerah dekat pantai itulah sibuh itu dibuang, dan secara tiba-tiba ditempat sibuh dibuang muncul sumber air yang sangat jernih (yeh mumbul). Sumber air yang masih dapat disaksikan sampai sekarang dengan nama Air Sanih.
Maksud baik dari utusan Dewi Danu ternyata mendapat perlakuan yang tidak baik dan merasa sangat kecewa Karena telah diperlakukan tidak adil. Karena kesal babi utusan itu mengeluarkan kutukan agar sutu saat nanti apabila dilaksanakan upacara yang dihaturkan kepada Ratu Ayu Manik Galih supaya babi yang dipergunakan untuk sarana upacara terbut berubah menjadi batu. Selain itu, ditegaskan pula apabila masyarakat Desa Depaha melaksanakan suatu upacara dan melaksanakan upacara melasti agar nunas tirta ke air Sanih (Yeh Mumbul).
Diceritakan pada suatu hari masyarakat desa Depeha sedang mempersiapkan upacara di Pura Puseh. Rangkaian upacara tersebut diawali dengan upacara menghaturkan puja wali ke hadapan Ratu Ayu Manik Galih. Ratu Ayu Manik GAlih merupakan sakti Dewa Visnu dalam manifestasi beliau sebagai Dewi kesuburan. Puajawali yang dihaturkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih dilaksanakan pada hari purwani purnama karo, sehari menjelang hari purnama sasih karo yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Nyumunsari. Sebelum upacara masyarakat mempersiapkan segala persiapan dan perlengkapan upacara, salah satunya adalah babi yang akan digunakan untuk perlengkapan upcara. Namun sebelum disembelih, babi tersebut terlepas dan lari menuju lembah dekat Pura Puseh yang dikenal dengan nama yeh kedis (Yeh Kedas). Beberapa orang mengejar babi tersebut, sampai di lembah yeh kedis salah seorang berteriak “nah ne ye celenge….” (nah ini dia babinya), sambil menunjuk salah satu batu hitam besar yang menyerupai babi yang ada di tempat tersebut. Setelah diamati dengan seksama ternyata yang ditunjuk itu adalah batu hitam besar. Akhirnya orang-orang yang mnengejar babi itu memutuskan untuk membagi diri menjadi dua kelompok, untuk mencari kea rah barat dan ke arah timur. Pencarian babi tersebut memberikan nama-nama pada daerah yang dilalui, yaitu: Munduk Ngandang, Ancut, Campuhan, Yeh Alang, Ceregah, Batu Lumbang, Celuk, Bukit Tumpeng, Grombong, Gerembiang, Sanglung, Tumpuk, Taman Sari, Seganti, Peninjauan, Purna, Grembeng, Meringan, Bingin, Yeh Lesung, Tampul, Munduk Tegeh, Prahyangan (Payangan), Batungadeg, Madya, Sianga, Pegubugan, Yeh Pande, dan Soca. Karena terus mencari tetapi tidak menemukan babi yang lepas, akhirnya orang-orang kembali serta mendengarkan sebuah Pawisik (bisikan alam gaib) bahwa babi yang dicari berada dilembah Yeh Kedis berupa batu, masyarakat yang mempersiapkan upacara tersebut sepakat mengganti babi tersebut dengan sebuah batu (Batu Duwe) yang terdapat di lembah Yeh Kedis mengganti babi yang hilang. Selanjutnya batu tersebut digotong beramai-ramai seperti menggotong seekor babi dibawa ke areal jaba tengah Pura Puseh untuk dipotong secara bersama-sama sebagai perlengkapan upacara mengganti babi yang terlepas tersebut sebagai persembahan kepada Ratu Ayu Manik Galih. Dari hal itulah muncul istilah Nampah Batu karena realitasnya yang dipotong oleh masyarakat adalah sebuah batu sebagai symbol dari Bawi Duwe yang keberadaannya diyakini berada di lembah Yeh Kedis. Sebagai ganti daging babi digunakanlah jenis kacang-kacangan dan sayur mayor yang merupakan hasil bumi masyarakat Desa Depeha yang dikenal dengan lelampadan. Lelampadan inilah yang diolah tanpa menggunakan minyak untuk selanjutnya dipersembahkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih dalam manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan.
 
C.     Bentuk Upacara Nampah Batu
Salah satu bentuk upakara yang menonjol dan bahkan selalu dipergunakan dalam kegiatan keagamaan di Bali khususnya agama Hindu adalah banten. Penggunaan sarana banten ini tidak terlepas dari terbatasnya kemampuan manusia, sehingga dalam upaya untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, sarana inilah yang dipergunakan sebagai alat untuk konsentrasi sehingga tujuan bisa tercapai.
Banten merupakan sarana persembahan yang sekaligus sebagai perwujudan simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan manifestasi-Nya. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dari sarana tertentu antara lain: bunga, buah-buahan, daun, makanan, jajan, dan lainnya, disamping sarana yang sangat penting lainnya seperti air dan api (Titib,2003:134). Dengan demikian banten adalah simbol yang sangat universal sifatnya yaitu sebagai simbol dari pikiran manusia untuk disampaikan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai simbol dari alam semesta beserta isinya, dan simbol penyucian atau kesucian hati.
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam banten secara jelas tertuang dalam kitab Bhagawadgita, adyaya IX, sloka 26 yaitu:
patram puspam phalam toyam
ya me bhaktya prayacchati,
tad aham bhaktyu pahrtam
asnami prayatatmanah.
Terjemahannya:
siapapun yang sujud kepada-Ku dengan mempersembahkan
setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan,
atau seteguk air, Aku terima sebagai bhakti
persembahan dari orang yang berbakti suci. (Pudja,1999:239)
Dari uraian sloka Bhagawadgita diatas sangat jelas disebutkan bahwa bahan-bahan yang menjadi pokok persembahan atau banten adalah daun, bunga, buah, dan air yang mana di Bali bahan tersebut akan ditata dan dirangkai sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan yang indah.
Bentuk upakara yang biasa dipergunakan di Desa Pakraman Depeha dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan pemikiran serta kesadaran masyarakat yang tidak hanya menerima begitu saja apa yang telah diwariskan (Kuna Drsta), tetapi berupaya mencari perbandingan dengan konteks susastra agama yang berlaku (Sastra Drsta).
Pelaksanaan  upacara agama selalu menggunakan sarana atau peralatan yang disebut dengan upakara. Upakara merupakan alat untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan manifestasi-Nya. Ada beberapa sarana dan bahan yang dipergunakan untuk melengkapai jalannya pelaksanaan upacara yaitu:
1.        Sebuah batu (duwe) yaitu sebuah batu yang dijadikan simbol seekor babi.
2.        Tempayan, pisau, kain putih yang digunakan untuk prosesi memotong Duwe.
3.        Desa Anyar (pasangan baru menikah) yang bertugas melaksanakan prosesi nampah (memotong babi).
4.        Tetabuhan untuk mengiringi Desa Anyar menari.
5.        Penari yang terdiri dari seluruh Desa Anyar Perempuan menarikan tarian rejang dewa, dan Desa Anyar Laki-laki menarikan tarian baris.
Seluruh sarana upacara tersebut sangatlah penting karena tanpa sarana-sarana tersebut maka pelaksanaan upacara Nampah Batu tidak bisa dilaksanakan.
Ada beberapa bentuk persembahan yang digunakan pada upacara Upacara Nampah Batu di Pura Puseh, Desa Pakraman Depeha diantaranya berdasarkan hasil pengamatan serta hasil wawancara dengan beberapa tukang banten atau Sarati di Desa Pakraman Depeha yaitu sorohan banten pangresikan, banten pejati, jerimpen,daksina lingga, canang pemendak dan segehan aseet dan sorohan banten ayaban.
D.    Fungsi Upacara Nampah Batu
Sesungguhnya semua aktivitas keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu yang merupakan prakteknya ajaran agama Hindu sesederhana dan semegah apapun bentuknya dibalik totalitas nilai-nilai religius intinya mengandung nilai-nilai seni (estetika), sebagai bentuk ekspresi dari umat dalam melaksanakan ritual dalam upacara. Terlihat jelas nilai seni itu terungkap dalam upacara Nampah Batu yang dilaksanakan di Pura puseh, Desa Pakraman Depeha seperti banten yang digunakan dalam upacaranya merupakan hasil cipta, rasa, serta karsa suci mereka yang memiliki nilai tak terhingga. Yang dalam pengerjaannya tetap mengikuti pola aturan tertentu mulai dari jejahitannya, buah, jajan, nasi, rerasmen, sampian atau reringgitannya sehingga tidak terlepas dari nilai etika dan moral.
Selain itu nilai seni tercermin pula pada  seni tetabuhan, seni kidung, seni tari dan yang lainnya termasuk cara berpakaian umat pun adalah ungkapan sebuah rasa seni. Dapat pula dilihat saat proses ngayah menari untuk Desa Anyar baik laki-laki maupun perempuan secara bersama-sama mereka menari. Masyarakat selalu berupaya untuk memberikan suatu persembahan yang terbaik.
Menurut jero mangku pengemong pura dijelaskan bahwa upakara atau banten juga berfungsi sebagai sarana penyucian atau pembersihan. Dalam Upacara Nyumun Sari dalam piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Depeha mempergunakan beberapa jenis banten yang termasuk dalam katagori sebagai sarana penyucian seperti: 1)  Banten yang ditujukan pada para bhuta serta  hal-hal yang bersifat duniawi lainnya yaitu banten biyakala, banten durmanggala, penyucian dalam hal ini adalah merubah hal-hal yang bersifat kurang baik agar menjadi penolong serta berguna bagi yang melaksanakan yadnya. 2)  Banten penyucian  yang ditujukan kepada para Dewa-Dewi serta hal-hal yang bersifat bhatiniah seperti banten prayascita, Banten Penyeneng, banten panglukatan/penyucian dalam hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan upacara dapat memancarkan sinar suci, sinar kebijaksanaan yang berguna bagi yang melaksanakan upacara serta dapat diterima oleh Tuhan. 3)  Ayam putih yang dipersembahkan saat mapiuning di Pura Desa  oleh Desa Anyar merupakan simbolis kesucian pikiran dan hati sebagai awal  akan memulai bahtera rumah tangga. Sehingga apa yang akan menjadi tujuan kedua pasangan tercapai.
E.     Makna Upacara Nampah Batu
1.      Makna Simbolik
Secara implisit, banten yang digunakan  dalam Upacara Nampah Batu sangat sarat mengandung nilai-nilai simbolik hal itu sangat relepan dengan teori simbolik Kant yang menyatakan bahwa dimensi simbol merupakan penggambaran tidak langsung analog. Bentuk banten Upacara Nampah Batu yang digunakan sebagai sarana pelengkap upacara piodalan di Pura Puseh, Desa Pakraman Depeha merupakan penggambaran secara tidak langsung dari yang abstrak menurut konsep sastra yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan upacara tersebut. Kemampuan manusia sangat terbatas untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak sehingga perlu diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol untuk dapat menjangkau yang bersifat abstrak itu. Eksistensi banten pada Upacara Nampah Batu dalam piodalan di Pura Puseh sesungguhnya merupakan instrumen untuk menghubungkan dunia material dengan dunia spiritual.
2.      Makna Solidaritas
Dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, interaksi dengan orang lain sangatlah penting, karena sebagai mahluk sosial manusia tidak bisa hidup menyendiri. Interaksi sosial inilah yang mendasari tumbuhnya rasa solidaritas dalam masyarakat. Salah satu wujud solidaritas dalam masyarakat khususnya di Desa Pakraman Depeha adalah gotong-royong. Inilah wujud solidaritas yang memiliki nilai budaya warisan leluhur. Gotong-royong ini merupakan bentuk kerjasama yang dilandasi oleh rasa saling cinta kasih, tenggang rasa, saling asah-asih-asuh, saling menghargai, rasa saling memiliki, dan sebagainya yang ditopang oleh semangat kebersamaan serta merupakan perwujudan dari konsep ajaran Agama yaitu Tat Wam Asi (itu, Ia adalah kamu),  yang merupakan adat istiadat yang kuat dalam hal hubungan antara warga yang satu dengan warga yang lain didasarkan atas moral yang telah melembaga dalam diri individu.
3.      Makna Etika dan Budaya
Persembahan yang dilakukan oleh umat Hindu khususnya yang dituangkan melalui ajaran Panca Yadnya memiliki nilai-nilai moral dan spiritual yang sangat tinggi. Moral merupakan seperangkat aturan tingkah laku yang mengacu pada kaedah-kaedah yang sesuai dengan ajaran agama. Dengan ajaran moral, maka manusia dihapkan mampu untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar yang sesuai dengan ajaran agama.